Perjalanan menuju ke kantor dari rumahku setidaknya akan menemui 3 ‘lampu merah’, jika melewati rute Sepinggan-Gunung Bakaran-Dam-Pasar Baru-Gunung Sari. Bila melalui rute Sepinggan-Korpri-Ring Road-MT Haryono-Dam-Pasar Baru-Gunung Sari, akan ada 4 ‘lampu merah’; juga kalo melalui Sepinggan- Korpri-Ring Road-Balikpapan Baru-Gunung Guntur-Gunung Sari.
Selain lampu merah tadi, masih akan ditemui adanya persimpangan-persimpangan lain. Buatku, aku dah tau harus memilih belokan yg mana tiap kali menemui persimpangan-persimpangan itu. Termasuk memilih rute mana yg mesti kulalui ketika aku –misalkan– harus sekalian mengantar anakku yg masih TK, ato ketika aku berangkat sendiri tanpa harus mengantarnya. Tentu aku ga bingung lagi karena dah biasa. Dan menjadi semacam rutinitas.
Sebenarnya, tiap kali kita menemui persimpangan maka di situ ada pilihan sesuai jumlah belokan simpangannya. Dan ketika menemuinya kita diharuskan memilih arah mana yg akan kita tempuh untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
*ada lagu/nasyid Di Persimpangan Jalan Aku Berdiri punya edCoustic di sini*
Kehidupan ini kurang lebih seperti perjalanan di atas. Senantiasa ada persimpangan di dalam kehidupan dalam wujud berbagai persoalan. Dan kita mesti memutuskan, alternatif pilihan mana yg diambil. Kadang alternatif-alternatif itu gampang kita pilih. Kadang tidak gampang juga. Variatif. Bahkan, bisa jadi ada yg sampe membuat kita pusing, stress, sebagaimana pengibaratan yang sering kita dengar ‘bagai makan buah simalakama’.
Dan kita sama2 mafhum bahwa tiap pilihan ada resikonya. Ada konsekuensinya. Semudah ato sesulit apa pun pilihan itu. Sesungguhnya hal ini sederhana. Ketika persimpangan itu ada di hadapan kita, kita tinggal milih alternatif yg mana yg akan kita ambil. Sudah. Selesai. Sederhana bukan?
Ternyata, walo sederhana, pada praktiknya sering kali ga segampang itu. Kita sering merasa dihadapkan pada pilihan2 sulit, yang sama2 bagus ato sama2 buruk, sehingga bingung mengambil keputusannya.
Di ruang/rubrik2 konsultasi kita akan banyak mendengar orang2 yang demikian, kebingungan dan kesulitan terhadap masalah yang dihadapinya; mesti berbuat apa? Sebagai contoh, bisa dilihat di klinik bisnis eramuslim ini, yang sering aku kunjungi.
Salah satu contoh yang lain, bisa aku ceritakan di sini, yang kudengar dr seorang Khatib Jumat. Di sini sekaligus kita akan tau bagaimana seseorang ketika memberi saran dan masukan terhadap orang yang lagi punya masalah.
Sang Khatib tadi mengisahkan bahwa dirinya pernah (transit) di Qatar dalam rangka mengantarkan bantuan kemanusiaan untuk korban penyerangan AS di Iraq. Di Qatar –bersama seorang teman dari Malaysia– dia bertemu dengan para buruh Indonesia/TKI. Biasa, dalam pertemuan seperti itu, setelah sesi dialog, para TKI banyak menyampaikan permasalahan dan keluhannya. Yang paling banyak adalah perlakuan yang ga adil dari majikan mereka. Sang Khatib yang dari Indonesia tadi memberikan nasehat yang umum, yang biasa kita sampaikan kepada orang2 yang memang lagi ga berdaya. Beliau menyarankan untuk bersabar, insya Allah akan ada gantinya yang lebih baik dari Allah nantinya. Apa lagi ini kan di negeri orang, yang kita banyak keterbatasannya. Nasehat ini sebenarnya ga kliru. Tapi, kata beliau sendiri, ternyata nasehat ini (terlalu) biasa-biasa saja. Karena ketika temannya yang dari Malaysia itu ganti memberikan masukan, apa yang disampaikannya? “Tuan-tuan, Anda di sini sudah cukup lama. Dan hal yang Tuan-Tuan hadapi, juga bukan hal yang terlalu baru lagi. Sesungguhnya apa yang akan Tuan-Tuan alami dan rasakan, sangat tergantung pada Tuan-Tuan sendiri. Kalo Tuan-Tuan memang hanya berdiam diri, menerima saja hal itu terjadi, maka Tuan-Tuan tetap akan seperti ini kondisinya. Dan itu harus Tuan-Tuan terima. Karena itu yang menjadi pilihannya. Kalo Tuan-Tuan menghendaki ada perubahan, maka Tuan-Tuan mesti mau melakukan sesuatu. Apakah itu, Tuan-Tuan harus bilang kepada majikan, ato bahkan protes. Ato yang laennya. Agar kondisi Tuan-Tuan bisa berubah.” Kurang lebih seperti itu nasehat orang Malaysia tadi.
Cerita laen, bisa diliat di sini, dari Andrie Wongso.
Sekali lagi, sesungguhnya kita hanya tinggal memilih saja. Dari yang kuamati, dan aku alami, kita sering kesulitan dalam memilih, sering kali disebabkan oleh diri kita sendiri. Walo kita telah bertanya dan konsultasi kepada orang lain, dan telah diberikan jawaban (alternatif-alternatif yang bisa kita pilih), namun tetap saja kita masih kesulitan mengambil keputusan. Kesulitan itu menurutku bermuara pada : ketidakjelasan visi/tujuan kita, dan kita tidak siap (tidak mau) menghadapi resiko/konsekuensi yang ada dari setiap pilihan.
Bagi orang yang selalu mau enaknya aja, ga siap dengan resiko yang memang adanya bermacam2 (pilih2 resiko, yang gampang aja), ga mau melakukan usaha, dan ga mau berkorban, akan lebih sering menemui masalah –yang bagi orang lain sangat munkin itu adalah hal yang biasa-biasa saja, bukan masalah yang berat.
Aku tidak memungkiri ada faktor laen di luar diri kita, yang bisa turut mempersulit pilihan yang akan kita ambil. Namun, diri kita sendiri tetaplah menjadi penentu atas jalan keluar yang akan kita lakukan. Termasuk ketika ada jalan keluar yang ga terduga yang diberikan Allah kepada kita, itu pun –kasarannya, nih– tetap tergantung pada diri kita; tergantung investasi kebaikan yang telah kita lakukan, tergantung ketaatan kita pada-Nya.
*gambarnya dr sini*
Friday, June 29, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Iya, semua masalah yang kita lalui memang menghadapkan kita pada dua pilihan yang terkadang kita anggap yang satu baik dan yang lain buruk. Adakalanya juga Allah menunjukkan jalan yang tidak kita sukai. Namun, kita harus percaya bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita walaupun kita menganggapnya buruk.
Post a Comment