Thursday, June 14, 2007

Mutasi... mutasi...

Demikian salah seorang teman chatting-ku akhir-akhir ini sering memulai sapaannya. Dia mengingatkan sekaligus bertanya bagaimana perkembangan/informasi tentang mutasi di instansi kami. Kami memang lagi sama-sama menunggu hal ini, walo kami berada pada direktorat yg berbeda. Mutasi memang sering menjadi tema yg seru untuk diobrolkan. Kebetulan instansi tempatku bekerja lagi ada perubahan organisasi, dan membuka beberapa kantor cabang baru di daerah-daerah. Teman-teman di kantor pun sekarang lagi dalam kondisi harap-harap cemas, menanti kepastian akankah mereka terkena mutasi??? Mutasi ke mana??

* * *
Mutasi, pindah ke tempat lain dalam rangka pelaksanaan tugas (termasuk di dalamnya promosi, naik menduduki jabatan tertentu), sesungguhnya adalah sesuatu yg lumrah terjadi. Apalagi pada instansi pemerintah yg memiliki kantor-kantor operasional di daerah-daerah. Wajar adanya. Bahkan boleh dikata itu merupakan tuntutan, yg mesti dilakukan agar organisasi tersebut terus bergerak. Supaya dinamis. Oleh karena itu wajar pula jika instansi tersebut merencanakan & melakukannya secara berkala.

Dari sisi orang/pegawai yg mengalami mutasi pun, sebenarnya banyak manfaat yg bisa diambil. Dia akan mengetahui budaya-budaya tempat lain, kebiasaan-kebiasaan di daerah baru yg sangat mungkin berbeda dg daerah yg sebelumnya ditempati. Termasuk juga akan tahu bagaimana karakter umum orang-orang daerah tersebut. Dia akan makin terlatih menghadapi berbagai persoalan baru, baik dalam pelaksanaan tugas/kerjanya maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Dan biasanya, dengan makin beragamnya orang yg dihadapi, maka kearifan dan kebijaksanaannya akan makin terasah.

Pada kenyataannya, terkadang pelaksanaan mutasi menyertakan/menyisakan pertanyaan-pertanyaan akan “keadilan” / kebijakan mutasi yg diberlakukan. Kenapa si A yg baru beberapa tahun sudah dipindah, sementara si B yg telah bertahun-tahun qo’ belum dipindah? Kenapa si C yg minta pindah dg alasan lebih kuat (karena sakit, misalkan) tidak dikabulkan, sementara si D dg alasan ala kadarnya malahan dikabulkan permohonan pindahnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yg sejenis sering muncul. Maka tidak heran, kalo akhirnya faktor kedekatan dg pegawai bagian mutasi (ato pejabat lainnya) dan adanya pelicin/imbalan, diduga menjadi sebagian dari faktor penentu terjadi ato tidaknya mutasi seseorang.
Memang sih, di sisi lain kita juga harus mengakui bahwa mengelola mutasi terhadap sekian banyak orang pegawai tidaklah gampang dan sederhana.

Aku (kami, keluarga) sendiri sebenarnya termasuk orang yg enjoy aja menghadapi mutasi. Mo mutasi ke mana aja, sebetulnya aku siap (heheheheh...bukannnya nantang lho, ini). Alhamdulillah ada kemudahan buat aq untuk mencari kenalan di tempat baru, melalui jaringan perkawanan yg ada. Keyakinan bahwa mutasi tersebut termasuk yg terbaik yg Allah berikan kepada kita, juga akan menambah ke-enjoy-an kita menghadapi mutasi. Ditambah lagi dengan keyakinan bahwa sebenarnya banyak yg bisa kita lakukan di tempat yg baru, kegiatan yg bermanfaat.
Sesungguhnya semua tempat di bumi ini adalah milik Allah. Di sana ada manusia lain, yg sama-sama saling membutuhkan, yg juga bisa saling memberi manfaat.

Namun, harus dimaklumi, bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan cinta pada hal-hal tertentu. Salah satu di antaranya adalah cinta akan kampung halaman. Dan ini menjadi salah satu alasan tersendiri bagi seseorang untuk akhirnya berharap apakah dia tetap di tempat (tidak mutasi) atau pindah ke tempat baru. Wajar kalo seseorang berharap bisa kembali ke kampungnya, betapa pun sederhana (ato rame, ato kumuh, ato ...seperti apalah) kampungnya. Tempat yg penuh dengan kenangan, apalagi kalo di sana ada ortu yg masih hidup, sanak sodara, dll.
Naah...demikian pula dengan aku. (o alaah, ...ujung-ujungnya begini, tho? ...jadi tnyata dirimu sendiri lagi pengin balik kandang, nih...???) Heheheheh...bgini temen-temen, sekali lagi, ini adalah keinginan yg wajar (& sebenarnya ada alasan-alasan, pertimbangan-pertimbangan, mengapa kami berharap demikian). Dan, aku tetep konsisten qo’ dengan kesiapan mutasiku di atas (enjoy, man...).

Apa pun yg terjadi, itu adalah yg terbaik. Apa yg telah Allah takdirkan, tidak akan luput dari kita. (Tapi) Selama itu belum terjadi, kita masih bisa berusaha & berdoa untuk memilih takdir lain yg kita harapkan. Ya, ngga’??

2 comments:

bundanya i-an said...

Mutasi.. halah2 aku sempet stress gara2 dimutasi ke kantorku yang sekarang ini di daerah pinggiran kota (kabupaten)... tapi akhirnya seperti pada alenia terakhir dipostingan ini... karena aku yakin smua sudah yang terbaik dari Allah.. tapi dah 2 taon disini teuteub aja gak betah hik.hik.. pengen balik ke kantor lama...

m.salahuddin said...

* bunda ian : .. tapi dah 2 taon disini teuteub aja gak betah hik.hik.. pengen balik ke kantor lama...

kyk gtu juga sbnarnya hal yg manusiawi, .. tinggal kita mo milih mo gmn setlh itu.
Aq lg mo nulis hal (yg sdikit byk bsinggungan dg masalah) ini jg. Tunggu aja yah, moga ga lama..