Tuesday, June 23, 2009

Sebuah Potret di Sebuah Terminal


Aku tau kamu orang susah. Yang mencari sesuap nasi dengan susah payah. Tidak seperti orang kantoran yang sudah pasti dapat penghasilan bulanan. Kamu ”harus” banting tulang, peras keringat. Di tengah kehidupan yang begitu keras dan tidak bersahabat.

Aku tidak habis pikir. Teganya kamu berbuat begitu. Kondisimu yang banyak kekurangan dan keterbatasan tidak membuatmu menjadi mempunyai hati yang lunak dan peduli dengan orang-orang yang susah. Yang sepertimu. Orang-orang seperti itu kamu peras dan kamu perlakukan dengan sangat keras dan kasar.

”Ke mana, Bu?”, tanyamu. Di awal-awal, kamu bersikap baik kepada orang yang kamu hadapi.

”Ke kota A.”

”Oh, ayo sini sini. Mana barangnya, aku bawain.” Kamu mulai beraksi. Ingin memastikan agar calon penumpang itu pasti mau ngikutin kamu, dan beli tikel melalui kamu.

”Ga usah biar kami bawa sendiri”

”Ayo, ayo...sini aku bawain!”, kamu mulai agak memaksa. Dan beberapa kali kamu ulangi permintaan ini.

”Tidak, biar kami bawa sendiri. Kamu tunjukin saja bis X yang ingin kami naiki.”

Akhirnya kamu pun mengalah dan menyuruh calon penumpang itu agar mengikutimu menuju bis X (menurutmu). Kamu pun mengaku bahwa kamu adalah staf (karyawan perusahaan bis X tadi), sambil menunjukkan sebuah kartu kecil bergambar pas foto seseorang (fotomu?).

Kamu terus ”memandu” calon penumpang tadi menuju bis yang kamu janjikan. Kamu berjalan cepat, sedangkan calon penumpang itu berjalan lambat. Mungkin ibu itu sudah terlalu tua untuk berjalan cepat seperti kamu. Sesekali kamu berhenti. Menengok ke belakang, memastikan bahwa orang-orang itu masih mengikutimu. Begitu mereka sudah mendekat kembali, kamu pun terus berjalan kembali dengan ekspresi tidak sabar.

Sebenarnya kamu mengajak calon penumpang itu dengan cara memutar, masuk ke loket penjualan tiket. Tidak melalui pintu masuk yang semestinya, yang biasa dilalui orang-orang pada umumnya. Dan itu yang tidak diketahui oleh mereka, calon-calon penumpang yang kebanyakan orang luar daerah, yang tidak mengenal suasana terminal”mu”.

”Masuk,.. sini Bu! Sini Mas! Sudah,.. bayar di loket itu (tiketnya)!”, perintahmu begitu kamu selesai mengantar para calon penumpang itu.

”Sebentar..., ini bis apa? Bis X lain?”

”Sudaaah! Bayar saja!” sergahmu tidak sabar.

”Pastiin dulu, Mas, bener ga ini bis X? Ini, tiketnya aja lain. Ga ada tulisan bis X nya.”

”Ini orang rewel banget!”, kamu makin tidak sabaran. ”Udaah. Bayar saja! Iya, iya, .. pasti nanti naik bis X! Reseh banget sih, kalian!”

”Ya, tapi kan ini bukan bis X!”

”Ini jadi mo naik, gak sih!”, si cewek pemegang tiket yang menjaga loket pun ikut-ikutan.

”Ya, Mas, Bu,... jangan bikin emosi, kalian! Udah, bayar saja itu!”, temen lainnya juga nambahin.

Beberapa orang yang ada di situ juga ikut nambahin, menyebabkan suasana makin panas sehingga makin memojokkan para calon penumpang itu. Bahkan si calo tadi beberapa kali mendorong lelaki anak sang ibu calon penumpang.

”Lho! Jangan dorong-dorong anakku dong!”

Tapi kecemasan ibu itu tidak digubrisnya.

Pada akhirnya ibu dan anak itu pun terpaksa membayar tiket itu walaupun tetap dengan ketidakyakinan bahwa itu tiket bis X. Hanya karena tidak mau ribut lagi. Juga karena suasana memang tidak menguntungkan, begitu banyak yang mengeroyok mereka.

Tapi ternyata itu bukanlah akhir dari transaksi tiket bis yang sangat tidak bersahabat itu. Calon penumpang tadi masih dipaksa dan dibentak juga, agar menunggu/duduk di tempat tunggu yang mereka tentukan. Kelihatannya mereka (para calo/preman itu) sudah mengantisipasi agar calon penumpang itu tidak lari dan berpindah ke bis lain (mencari bis sendiri dan meninggalkan tiket yang telah dibeli). Setiap pergerakan calon penumpang itu yang menunjukkan gelagat akan berpindah tempat, mereka langsung menanyakan kepada mereka, ”Mau ke mana?”

Sungguh, suasana yang sangat tidak nyaman buat calon penumpang. Dan itu ternyata terus berlanjut! Tidak berakhir sampai di situ. Ketika bis ”yang dijanjikan” telah ada (bis dengan trayek yang lebih jauh, melewati kota X), mereka masih juga diminta untuk membayar lagi; dengan harga yang lebih tinggi daripada yang sudah dibayar di loket. Lagi-lagi calon penumpang tadi tidak bisa berbuat banyak dengan suasana yang tidak bersahabat seperti itu. Dengan sisa-sisa uang yang ada, mereka pun terpaksa membayar lagi.

Dan, ternyata...masih ada lagi! Begitu mereka masuk ke bis, mereka masih juga dimintai uang tempat duduknya. Betul-betul perlakuan dzalim dari (kumpulan) orang susah yang berlagak sok kuasa.


* * *


Ini adalah salah satu potret dari bagian bangsa ini. Memang, tidak semua orang mengalami hal seperti itu. Terutama bagi orang-orang yang berpunya yang bisa memilih fasilitas yang lebih nyaman. Hampir-hampir mereka tidak akan mengalami hal ini. Bahkan sangat mungkin tidak mengetahui ada fenomena semacam ini, yang menimpa kepada orang-orang yang sebenarnya tidak jauh dari ”kesusahan” dan penuh keterbatasan.

Fenomena yang mungkin sepele, yang mungkin dianggap sekadar bagian kecil dari bangsa ini, namun semestinya hal ini tetaplah penting diketahui dan disikapi dengan baik oleh pemimpin yang ada, oleh pihak yang bertanggung jawab.

Khalifah Umar bin Khatab pernah mengatakan, ”Seandainya seekor keledai ditemukan (tersesat) di Iraq, maka sayalah yang bertanggung jawab; mengapa saya tidak menunjukkan jalan pulang bagi keledai itu.”