Kembali, sebagaimana bulan lalu, hari ini adalah hari terakhir di bulan ini pada tahun ini. Kali ini, setidaknya ada dua momen yg aku catat sebagai sesuatu yg spesial.
Pertama, temanku Dhika, hari ini melangsungkan pernikahannya di Jakarta. Sebenarnya dia tuh adik kelas SMA-ku, walo ga ketemu. Aku taunya ya di dunia sini, dunia maya. Terus terang walo dia adik kelas, lebih muda, harus kuakui dia banyak memiliki kelebihan dibanding aku. Liat aja sendiri blognya. Anda bisa merasakan kelebihan itu. Tidak hanya kelebihan dalam hal kemampuan, ketrampilan, ato kepintaran. Namun, juga dalam hal kebaikannya; akan terasakan di dalam blognya.
Yaa, hari ini menjadi hari yg baru bagimu, Dhik. Hari yg baru untuk memulai kebaikan2 yg lainnya lagi. Lebih banyak lagi potensi kebaikan yg ada di depanmu daripada sebelumnya. Makin luas medan kebaikan yg bisa engkau lakukan, dibanding ketika engkau sendirian. Walo juga, makin bertambah ujian yg mengiringinya. Namun, smua (ujian) itu tidaklah ada dan terjadi melainkan akan makin meningkatkan kebaikan yg ada padamu, ketika kamu bisa menghadapi & menaklukkannya.
Semoga barakah Allah dilimpahkan bagimu & keluargamu, Dhik. Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a bainakumaa fii khairin.
Kedua, terkait dengan sosok seorang wanita yg tangguh. Dia teman kuliahku dulu. Satu jurusan, satu angkatan. Di sela2 waktunya yg tidak banyak -sebagaimana waktu yg kita miliki juga, sama banyaknya- dia harus pandai2 membagi waktunya untuk berbagai aktivitasnya. Untuk mengurus & mendidik anaknya, melayani suaminya, melakukan kerjaan2 kantornya, aktivitas di yayasannya, dan .. ya, tentunya aktivitas untuk dirinya sendiri jugalah.
Munkin di antara Anda, ada juga yg seperti dia. Anda bisa merasakannya sendiri. Seperti apa repotnya. Seorang ibu, ...yg demikian. Di balik kerepotannya, sungguh kita tau ada kemuliaannya, ketika smuanya bisa dipenuhi hak2nya.
Menghadapi & mendidik anak adalah sesuatu yg lumrah & semestinya dilakukan oleh ibu/orang tua. Tapi, kita juga tau bagaimana sih, kalo kita berhadapan dg mereka? Mereka yg masih punya dunianya sendiri, yg penuh dg imajinasi, yg seringkali belum bisa nyambung dengan logika kita pada saat kita ingin menasihatinya, misalkan. Apalagi kalo jumlahnya tidak hanya satu. Adalah sesuatu yg kerap terjadi, bila mereka rebutan sesuatu mainan ato lainnya. Ya, perlu ketelatenan, peduli, empati.
Demikian pula terhadap suami. Ada kewajiban lain yg mesti ditunaikan, di samping ada hal yg bisa dilakukan dengan saling membantu. Terhadap kerjaan dan aktivitas di luar pun tidak beda. Ada tugas2 yg mesti diselesaikan. Pun, dia tidak boleh melupakan kebutuhan dirinya. Apalagi dengan kegiatannya yg tidak sedikit. Dia perlu menjaga kondisinya. Dia perlu mendidik dirinya, agar terus bertambah pengetahuannya. Agar dia tetap bisa memberikan kebaikannya kepada yg lainnya.
Pada hari ini, wanita itu, teman kuliahku dulu, telah bertambah satu tahun usianya. Sudah selayaknya aku mengucapkan selamat kepadanya. Terima kasih kepadanya. Apalagi dia adalah pasanganku. Isteriku. Yg selama ini telah menemaniku, membantuku, melahirkan dan mendidik anak2, dengan segala lika-likunya.
Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga sisa umur yg ada, Allah karuniakan keberkahan sehingga akan membuahkan banyak lagi manfaat. Manfaat untuk anak, manfaat untuk kita, manfaat untuk orang lain, juga manfaat untukmu.
Zuzazu juga ngucapin selamat untuk Umi. "Selamat ulang tahun, Umi ya. Semoga Umi tambah sabar menghadapi kreativitas kami", hehehehehe :D Abang Zufar berharap dapat adik perempuan; Mas Zahron minta adik laki lagi; hmm... Zuhair..?? :))
Saturday, June 30, 2007
Friday, June 29, 2007
Persimpangan Jalan
Perjalanan menuju ke kantor dari rumahku setidaknya akan menemui 3 ‘lampu merah’, jika melewati rute Sepinggan-Gunung Bakaran-Dam-Pasar Baru-Gunung Sari. Bila melalui rute Sepinggan-Korpri-Ring Road-MT Haryono-Dam-Pasar Baru-Gunung Sari, akan ada 4 ‘lampu merah’; juga kalo melalui Sepinggan- Korpri-Ring Road-Balikpapan Baru-Gunung Guntur-Gunung Sari.
Selain lampu merah tadi, masih akan ditemui adanya persimpangan-persimpangan lain. Buatku, aku dah tau harus memilih belokan yg mana tiap kali menemui persimpangan-persimpangan itu. Termasuk memilih rute mana yg mesti kulalui ketika aku –misalkan– harus sekalian mengantar anakku yg masih TK, ato ketika aku berangkat sendiri tanpa harus mengantarnya. Tentu aku ga bingung lagi karena dah biasa. Dan menjadi semacam rutinitas.
Sebenarnya, tiap kali kita menemui persimpangan maka di situ ada pilihan sesuai jumlah belokan simpangannya. Dan ketika menemuinya kita diharuskan memilih arah mana yg akan kita tempuh untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
*ada lagu/nasyid Di Persimpangan Jalan Aku Berdiri punya edCoustic di sini*
Kehidupan ini kurang lebih seperti perjalanan di atas. Senantiasa ada persimpangan di dalam kehidupan dalam wujud berbagai persoalan. Dan kita mesti memutuskan, alternatif pilihan mana yg diambil. Kadang alternatif-alternatif itu gampang kita pilih. Kadang tidak gampang juga. Variatif. Bahkan, bisa jadi ada yg sampe membuat kita pusing, stress, sebagaimana pengibaratan yang sering kita dengar ‘bagai makan buah simalakama’.
Dan kita sama2 mafhum bahwa tiap pilihan ada resikonya. Ada konsekuensinya. Semudah ato sesulit apa pun pilihan itu. Sesungguhnya hal ini sederhana. Ketika persimpangan itu ada di hadapan kita, kita tinggal milih alternatif yg mana yg akan kita ambil. Sudah. Selesai. Sederhana bukan?
Ternyata, walo sederhana, pada praktiknya sering kali ga segampang itu. Kita sering merasa dihadapkan pada pilihan2 sulit, yang sama2 bagus ato sama2 buruk, sehingga bingung mengambil keputusannya.
Di ruang/rubrik2 konsultasi kita akan banyak mendengar orang2 yang demikian, kebingungan dan kesulitan terhadap masalah yang dihadapinya; mesti berbuat apa? Sebagai contoh, bisa dilihat di klinik bisnis eramuslim ini, yang sering aku kunjungi.
Salah satu contoh yang lain, bisa aku ceritakan di sini, yang kudengar dr seorang Khatib Jumat. Di sini sekaligus kita akan tau bagaimana seseorang ketika memberi saran dan masukan terhadap orang yang lagi punya masalah.
Sang Khatib tadi mengisahkan bahwa dirinya pernah (transit) di Qatar dalam rangka mengantarkan bantuan kemanusiaan untuk korban penyerangan AS di Iraq. Di Qatar –bersama seorang teman dari Malaysia– dia bertemu dengan para buruh Indonesia/TKI. Biasa, dalam pertemuan seperti itu, setelah sesi dialog, para TKI banyak menyampaikan permasalahan dan keluhannya. Yang paling banyak adalah perlakuan yang ga adil dari majikan mereka. Sang Khatib yang dari Indonesia tadi memberikan nasehat yang umum, yang biasa kita sampaikan kepada orang2 yang memang lagi ga berdaya. Beliau menyarankan untuk bersabar, insya Allah akan ada gantinya yang lebih baik dari Allah nantinya. Apa lagi ini kan di negeri orang, yang kita banyak keterbatasannya. Nasehat ini sebenarnya ga kliru. Tapi, kata beliau sendiri, ternyata nasehat ini (terlalu) biasa-biasa saja. Karena ketika temannya yang dari Malaysia itu ganti memberikan masukan, apa yang disampaikannya? “Tuan-tuan, Anda di sini sudah cukup lama. Dan hal yang Tuan-Tuan hadapi, juga bukan hal yang terlalu baru lagi. Sesungguhnya apa yang akan Tuan-Tuan alami dan rasakan, sangat tergantung pada Tuan-Tuan sendiri. Kalo Tuan-Tuan memang hanya berdiam diri, menerima saja hal itu terjadi, maka Tuan-Tuan tetap akan seperti ini kondisinya. Dan itu harus Tuan-Tuan terima. Karena itu yang menjadi pilihannya. Kalo Tuan-Tuan menghendaki ada perubahan, maka Tuan-Tuan mesti mau melakukan sesuatu. Apakah itu, Tuan-Tuan harus bilang kepada majikan, ato bahkan protes. Ato yang laennya. Agar kondisi Tuan-Tuan bisa berubah.” Kurang lebih seperti itu nasehat orang Malaysia tadi.
Cerita laen, bisa diliat di sini, dari Andrie Wongso.
Sekali lagi, sesungguhnya kita hanya tinggal memilih saja. Dari yang kuamati, dan aku alami, kita sering kesulitan dalam memilih, sering kali disebabkan oleh diri kita sendiri. Walo kita telah bertanya dan konsultasi kepada orang lain, dan telah diberikan jawaban (alternatif-alternatif yang bisa kita pilih), namun tetap saja kita masih kesulitan mengambil keputusan. Kesulitan itu menurutku bermuara pada : ketidakjelasan visi/tujuan kita, dan kita tidak siap (tidak mau) menghadapi resiko/konsekuensi yang ada dari setiap pilihan.
Bagi orang yang selalu mau enaknya aja, ga siap dengan resiko yang memang adanya bermacam2 (pilih2 resiko, yang gampang aja), ga mau melakukan usaha, dan ga mau berkorban, akan lebih sering menemui masalah –yang bagi orang lain sangat munkin itu adalah hal yang biasa-biasa saja, bukan masalah yang berat.
Aku tidak memungkiri ada faktor laen di luar diri kita, yang bisa turut mempersulit pilihan yang akan kita ambil. Namun, diri kita sendiri tetaplah menjadi penentu atas jalan keluar yang akan kita lakukan. Termasuk ketika ada jalan keluar yang ga terduga yang diberikan Allah kepada kita, itu pun –kasarannya, nih– tetap tergantung pada diri kita; tergantung investasi kebaikan yang telah kita lakukan, tergantung ketaatan kita pada-Nya.
*gambarnya dr sini*
Selain lampu merah tadi, masih akan ditemui adanya persimpangan-persimpangan lain. Buatku, aku dah tau harus memilih belokan yg mana tiap kali menemui persimpangan-persimpangan itu. Termasuk memilih rute mana yg mesti kulalui ketika aku –misalkan– harus sekalian mengantar anakku yg masih TK, ato ketika aku berangkat sendiri tanpa harus mengantarnya. Tentu aku ga bingung lagi karena dah biasa. Dan menjadi semacam rutinitas.
Sebenarnya, tiap kali kita menemui persimpangan maka di situ ada pilihan sesuai jumlah belokan simpangannya. Dan ketika menemuinya kita diharuskan memilih arah mana yg akan kita tempuh untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
*ada lagu/nasyid Di Persimpangan Jalan Aku Berdiri punya edCoustic di sini*
Kehidupan ini kurang lebih seperti perjalanan di atas. Senantiasa ada persimpangan di dalam kehidupan dalam wujud berbagai persoalan. Dan kita mesti memutuskan, alternatif pilihan mana yg diambil. Kadang alternatif-alternatif itu gampang kita pilih. Kadang tidak gampang juga. Variatif. Bahkan, bisa jadi ada yg sampe membuat kita pusing, stress, sebagaimana pengibaratan yang sering kita dengar ‘bagai makan buah simalakama’.
Dan kita sama2 mafhum bahwa tiap pilihan ada resikonya. Ada konsekuensinya. Semudah ato sesulit apa pun pilihan itu. Sesungguhnya hal ini sederhana. Ketika persimpangan itu ada di hadapan kita, kita tinggal milih alternatif yg mana yg akan kita ambil. Sudah. Selesai. Sederhana bukan?
Ternyata, walo sederhana, pada praktiknya sering kali ga segampang itu. Kita sering merasa dihadapkan pada pilihan2 sulit, yang sama2 bagus ato sama2 buruk, sehingga bingung mengambil keputusannya.
Di ruang/rubrik2 konsultasi kita akan banyak mendengar orang2 yang demikian, kebingungan dan kesulitan terhadap masalah yang dihadapinya; mesti berbuat apa? Sebagai contoh, bisa dilihat di klinik bisnis eramuslim ini, yang sering aku kunjungi.
Salah satu contoh yang lain, bisa aku ceritakan di sini, yang kudengar dr seorang Khatib Jumat. Di sini sekaligus kita akan tau bagaimana seseorang ketika memberi saran dan masukan terhadap orang yang lagi punya masalah.
Sang Khatib tadi mengisahkan bahwa dirinya pernah (transit) di Qatar dalam rangka mengantarkan bantuan kemanusiaan untuk korban penyerangan AS di Iraq. Di Qatar –bersama seorang teman dari Malaysia– dia bertemu dengan para buruh Indonesia/TKI. Biasa, dalam pertemuan seperti itu, setelah sesi dialog, para TKI banyak menyampaikan permasalahan dan keluhannya. Yang paling banyak adalah perlakuan yang ga adil dari majikan mereka. Sang Khatib yang dari Indonesia tadi memberikan nasehat yang umum, yang biasa kita sampaikan kepada orang2 yang memang lagi ga berdaya. Beliau menyarankan untuk bersabar, insya Allah akan ada gantinya yang lebih baik dari Allah nantinya. Apa lagi ini kan di negeri orang, yang kita banyak keterbatasannya. Nasehat ini sebenarnya ga kliru. Tapi, kata beliau sendiri, ternyata nasehat ini (terlalu) biasa-biasa saja. Karena ketika temannya yang dari Malaysia itu ganti memberikan masukan, apa yang disampaikannya? “Tuan-tuan, Anda di sini sudah cukup lama. Dan hal yang Tuan-Tuan hadapi, juga bukan hal yang terlalu baru lagi. Sesungguhnya apa yang akan Tuan-Tuan alami dan rasakan, sangat tergantung pada Tuan-Tuan sendiri. Kalo Tuan-Tuan memang hanya berdiam diri, menerima saja hal itu terjadi, maka Tuan-Tuan tetap akan seperti ini kondisinya. Dan itu harus Tuan-Tuan terima. Karena itu yang menjadi pilihannya. Kalo Tuan-Tuan menghendaki ada perubahan, maka Tuan-Tuan mesti mau melakukan sesuatu. Apakah itu, Tuan-Tuan harus bilang kepada majikan, ato bahkan protes. Ato yang laennya. Agar kondisi Tuan-Tuan bisa berubah.” Kurang lebih seperti itu nasehat orang Malaysia tadi.
Cerita laen, bisa diliat di sini, dari Andrie Wongso.
Sekali lagi, sesungguhnya kita hanya tinggal memilih saja. Dari yang kuamati, dan aku alami, kita sering kesulitan dalam memilih, sering kali disebabkan oleh diri kita sendiri. Walo kita telah bertanya dan konsultasi kepada orang lain, dan telah diberikan jawaban (alternatif-alternatif yang bisa kita pilih), namun tetap saja kita masih kesulitan mengambil keputusan. Kesulitan itu menurutku bermuara pada : ketidakjelasan visi/tujuan kita, dan kita tidak siap (tidak mau) menghadapi resiko/konsekuensi yang ada dari setiap pilihan.
Bagi orang yang selalu mau enaknya aja, ga siap dengan resiko yang memang adanya bermacam2 (pilih2 resiko, yang gampang aja), ga mau melakukan usaha, dan ga mau berkorban, akan lebih sering menemui masalah –yang bagi orang lain sangat munkin itu adalah hal yang biasa-biasa saja, bukan masalah yang berat.
Aku tidak memungkiri ada faktor laen di luar diri kita, yang bisa turut mempersulit pilihan yang akan kita ambil. Namun, diri kita sendiri tetaplah menjadi penentu atas jalan keluar yang akan kita lakukan. Termasuk ketika ada jalan keluar yang ga terduga yang diberikan Allah kepada kita, itu pun –kasarannya, nih– tetap tergantung pada diri kita; tergantung investasi kebaikan yang telah kita lakukan, tergantung ketaatan kita pada-Nya.
*gambarnya dr sini*
Friday, June 22, 2007
Tahukah Anda (1)
‘Buku’ yg Amat Menakjubkan
Sebuah buku yg isinya banyak memberi manfaat. Memberi informasi, pengetahuan, memberi hikmah, memberi inspirasi untuk berbuat dan berkarya.
Munkin buku yg semacam itu banyak didapatkan. Dan sudah semestinya seperti itu, adanya sebuah buku.
Ini laen. Beda. Sebuah buku yg sering dikaji. Dan selalu dikaji, serta akan terus ditelaah. Berulang-ulang. Tidak habis ilmu/manfaat yg diperoleh darinya. Senantiasa ada hal baru yg didapat ketika membacanya kembali.
Semua (bidang) ilmu terangkum dan cocok dengannya. Dari sosialnya, politik, ekonomi, budaya, ideology, keamanan/pertahanan, sains, sampai hal kenegaraan. Menjelaskan masalah yg lalu. Menjadi bukti pada masa sekarang. Sebagai pegangan untuk rencana ke depan.
Banyak orang yg tersadar akan hidupnya, bangkit dari kejatuhannya, kembali dari jalannya yg sebelumnya menyimpang, insaf dari kesalahannya, setelah berinteraksi dengan buku ini. Terkadang hanya karena (setelah) mendengar suara orang yg membaca buku ini; dari orang yg membaca dengan kejujurannya. Terkadang, itu terjadi ketika dia membacanya sendiri, dengan hati beningnya.
Makin menakjubkan lagi, ketika (ternyata) tidak sedikit orang yg mau menghafal buku ini. Tidak sekadar menghafal hanya tau isinya. Benar-benar menghafal. Sampai-sampai pada titik komanya. Tidak ada yg terlewat sedikit pun. Hingga mereka akan tau, ketika ada orang yg keliru dalam membaca tulisan buku ini.
Orang-orang (yg menghafal) ini bukanlah orang gila. Hanya karena menghafal sebuah buku. Menghafal persis sama sekali. Pleg. Ga kurang ga lebih. Mereka bukanlah orang yg gila, yg kurang kerjaan. Buku ini memang menakjubkan. Bagi orang yg menghafalnya (dan menjaganya), akan mendapatkan kebaikan-kebaikan dan manfaat lainnya. Tidak ada buku lain yg seperti ini, yg membuat orang mau menghafalnya, seluruh isinya.
Kita semua sebenarnya sudah ngga asing dengan buku ini. Al-Quran. Ya inilah ‘buku’ yg dimaksud. ‘Buku’ yg amat menakjubkan. Yg banyak manfaatnya, bermutu, terjamin kualitasnya. Hanya sayang, banyak dari kita yg melalaikannya.
‘Buku’ yg amat menakjubkan. Yg jarang ato ga pernah disebut buku (dlm bahasa kita, Indonesia).
Dzaalikal kitaabu laa roiba fiih... itulah al-kitab (Al-Quran), tidak keraguan padanya...
Sebuah buku yg isinya banyak memberi manfaat. Memberi informasi, pengetahuan, memberi hikmah, memberi inspirasi untuk berbuat dan berkarya.
Munkin buku yg semacam itu banyak didapatkan. Dan sudah semestinya seperti itu, adanya sebuah buku.
Ini laen. Beda. Sebuah buku yg sering dikaji. Dan selalu dikaji, serta akan terus ditelaah. Berulang-ulang. Tidak habis ilmu/manfaat yg diperoleh darinya. Senantiasa ada hal baru yg didapat ketika membacanya kembali.
Semua (bidang) ilmu terangkum dan cocok dengannya. Dari sosialnya, politik, ekonomi, budaya, ideology, keamanan/pertahanan, sains, sampai hal kenegaraan. Menjelaskan masalah yg lalu. Menjadi bukti pada masa sekarang. Sebagai pegangan untuk rencana ke depan.
Banyak orang yg tersadar akan hidupnya, bangkit dari kejatuhannya, kembali dari jalannya yg sebelumnya menyimpang, insaf dari kesalahannya, setelah berinteraksi dengan buku ini. Terkadang hanya karena (setelah) mendengar suara orang yg membaca buku ini; dari orang yg membaca dengan kejujurannya. Terkadang, itu terjadi ketika dia membacanya sendiri, dengan hati beningnya.
Makin menakjubkan lagi, ketika (ternyata) tidak sedikit orang yg mau menghafal buku ini. Tidak sekadar menghafal hanya tau isinya. Benar-benar menghafal. Sampai-sampai pada titik komanya. Tidak ada yg terlewat sedikit pun. Hingga mereka akan tau, ketika ada orang yg keliru dalam membaca tulisan buku ini.
Orang-orang (yg menghafal) ini bukanlah orang gila. Hanya karena menghafal sebuah buku. Menghafal persis sama sekali. Pleg. Ga kurang ga lebih. Mereka bukanlah orang yg gila, yg kurang kerjaan. Buku ini memang menakjubkan. Bagi orang yg menghafalnya (dan menjaganya), akan mendapatkan kebaikan-kebaikan dan manfaat lainnya. Tidak ada buku lain yg seperti ini, yg membuat orang mau menghafalnya, seluruh isinya.
Kita semua sebenarnya sudah ngga asing dengan buku ini. Al-Quran. Ya inilah ‘buku’ yg dimaksud. ‘Buku’ yg amat menakjubkan. Yg banyak manfaatnya, bermutu, terjamin kualitasnya. Hanya sayang, banyak dari kita yg melalaikannya.
‘Buku’ yg amat menakjubkan. Yg jarang ato ga pernah disebut buku (dlm bahasa kita, Indonesia).
Dzaalikal kitaabu laa roiba fiih... itulah al-kitab (Al-Quran), tidak keraguan padanya...
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk dzikir (pelajaran / diingat), maka adakah orang yang mengambil pelajaran? [Al-Qamar: 17]
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: 15]
Thursday, June 14, 2007
Mutasi... mutasi...
Demikian salah seorang teman chatting-ku akhir-akhir ini sering memulai sapaannya. Dia mengingatkan sekaligus bertanya bagaimana perkembangan/informasi tentang mutasi di instansi kami. Kami memang lagi sama-sama menunggu hal ini, walo kami berada pada direktorat yg berbeda. Mutasi memang sering menjadi tema yg seru untuk diobrolkan. Kebetulan instansi tempatku bekerja lagi ada perubahan organisasi, dan membuka beberapa kantor cabang baru di daerah-daerah. Teman-teman di kantor pun sekarang lagi dalam kondisi harap-harap cemas, menanti kepastian akankah mereka terkena mutasi??? Mutasi ke mana??
* * *
Mutasi, pindah ke tempat lain dalam rangka pelaksanaan tugas (termasuk di dalamnya promosi, naik menduduki jabatan tertentu), sesungguhnya adalah sesuatu yg lumrah terjadi. Apalagi pada instansi pemerintah yg memiliki kantor-kantor operasional di daerah-daerah. Wajar adanya. Bahkan boleh dikata itu merupakan tuntutan, yg mesti dilakukan agar organisasi tersebut terus bergerak. Supaya dinamis. Oleh karena itu wajar pula jika instansi tersebut merencanakan & melakukannya secara berkala.
Dari sisi orang/pegawai yg mengalami mutasi pun, sebenarnya banyak manfaat yg bisa diambil. Dia akan mengetahui budaya-budaya tempat lain, kebiasaan-kebiasaan di daerah baru yg sangat mungkin berbeda dg daerah yg sebelumnya ditempati. Termasuk juga akan tahu bagaimana karakter umum orang-orang daerah tersebut. Dia akan makin terlatih menghadapi berbagai persoalan baru, baik dalam pelaksanaan tugas/kerjanya maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Dan biasanya, dengan makin beragamnya orang yg dihadapi, maka kearifan dan kebijaksanaannya akan makin terasah.
Pada kenyataannya, terkadang pelaksanaan mutasi menyertakan/menyisakan pertanyaan-pertanyaan akan “keadilan” / kebijakan mutasi yg diberlakukan. Kenapa si A yg baru beberapa tahun sudah dipindah, sementara si B yg telah bertahun-tahun qo’ belum dipindah? Kenapa si C yg minta pindah dg alasan lebih kuat (karena sakit, misalkan) tidak dikabulkan, sementara si D dg alasan ala kadarnya malahan dikabulkan permohonan pindahnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yg sejenis sering muncul. Maka tidak heran, kalo akhirnya faktor kedekatan dg pegawai bagian mutasi (ato pejabat lainnya) dan adanya pelicin/imbalan, diduga menjadi sebagian dari faktor penentu terjadi ato tidaknya mutasi seseorang.
Memang sih, di sisi lain kita juga harus mengakui bahwa mengelola mutasi terhadap sekian banyak orang pegawai tidaklah gampang dan sederhana.
Aku (kami, keluarga) sendiri sebenarnya termasuk orang yg enjoy aja menghadapi mutasi. Mo mutasi ke mana aja, sebetulnya aku siap (heheheheh...bukannnya nantang lho, ini). Alhamdulillah ada kemudahan buat aq untuk mencari kenalan di tempat baru, melalui jaringan perkawanan yg ada. Keyakinan bahwa mutasi tersebut termasuk yg terbaik yg Allah berikan kepada kita, juga akan menambah ke-enjoy-an kita menghadapi mutasi. Ditambah lagi dengan keyakinan bahwa sebenarnya banyak yg bisa kita lakukan di tempat yg baru, kegiatan yg bermanfaat.
Sesungguhnya semua tempat di bumi ini adalah milik Allah. Di sana ada manusia lain, yg sama-sama saling membutuhkan, yg juga bisa saling memberi manfaat.
Namun, harus dimaklumi, bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan cinta pada hal-hal tertentu. Salah satu di antaranya adalah cinta akan kampung halaman. Dan ini menjadi salah satu alasan tersendiri bagi seseorang untuk akhirnya berharap apakah dia tetap di tempat (tidak mutasi) atau pindah ke tempat baru. Wajar kalo seseorang berharap bisa kembali ke kampungnya, betapa pun sederhana (ato rame, ato kumuh, ato ...seperti apalah) kampungnya. Tempat yg penuh dengan kenangan, apalagi kalo di sana ada ortu yg masih hidup, sanak sodara, dll.
Naah...demikian pula dengan aku. (o alaah, ...ujung-ujungnya begini, tho? ...jadi tnyata dirimu sendiri lagi pengin balik kandang, nih...???) Heheheheh...bgini temen-temen, sekali lagi, ini adalah keinginan yg wajar (& sebenarnya ada alasan-alasan, pertimbangan-pertimbangan, mengapa kami berharap demikian). Dan, aku tetep konsisten qo’ dengan kesiapan mutasiku di atas (enjoy, man...).
Apa pun yg terjadi, itu adalah yg terbaik. Apa yg telah Allah takdirkan, tidak akan luput dari kita. (Tapi) Selama itu belum terjadi, kita masih bisa berusaha & berdoa untuk memilih takdir lain yg kita harapkan. Ya, ngga’??
* * *
Mutasi, pindah ke tempat lain dalam rangka pelaksanaan tugas (termasuk di dalamnya promosi, naik menduduki jabatan tertentu), sesungguhnya adalah sesuatu yg lumrah terjadi. Apalagi pada instansi pemerintah yg memiliki kantor-kantor operasional di daerah-daerah. Wajar adanya. Bahkan boleh dikata itu merupakan tuntutan, yg mesti dilakukan agar organisasi tersebut terus bergerak. Supaya dinamis. Oleh karena itu wajar pula jika instansi tersebut merencanakan & melakukannya secara berkala.
Dari sisi orang/pegawai yg mengalami mutasi pun, sebenarnya banyak manfaat yg bisa diambil. Dia akan mengetahui budaya-budaya tempat lain, kebiasaan-kebiasaan di daerah baru yg sangat mungkin berbeda dg daerah yg sebelumnya ditempati. Termasuk juga akan tahu bagaimana karakter umum orang-orang daerah tersebut. Dia akan makin terlatih menghadapi berbagai persoalan baru, baik dalam pelaksanaan tugas/kerjanya maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Dan biasanya, dengan makin beragamnya orang yg dihadapi, maka kearifan dan kebijaksanaannya akan makin terasah.
Pada kenyataannya, terkadang pelaksanaan mutasi menyertakan/menyisakan pertanyaan-pertanyaan akan “keadilan” / kebijakan mutasi yg diberlakukan. Kenapa si A yg baru beberapa tahun sudah dipindah, sementara si B yg telah bertahun-tahun qo’ belum dipindah? Kenapa si C yg minta pindah dg alasan lebih kuat (karena sakit, misalkan) tidak dikabulkan, sementara si D dg alasan ala kadarnya malahan dikabulkan permohonan pindahnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yg sejenis sering muncul. Maka tidak heran, kalo akhirnya faktor kedekatan dg pegawai bagian mutasi (ato pejabat lainnya) dan adanya pelicin/imbalan, diduga menjadi sebagian dari faktor penentu terjadi ato tidaknya mutasi seseorang.
Memang sih, di sisi lain kita juga harus mengakui bahwa mengelola mutasi terhadap sekian banyak orang pegawai tidaklah gampang dan sederhana.
Aku (kami, keluarga) sendiri sebenarnya termasuk orang yg enjoy aja menghadapi mutasi. Mo mutasi ke mana aja, sebetulnya aku siap (heheheheh...bukannnya nantang lho, ini). Alhamdulillah ada kemudahan buat aq untuk mencari kenalan di tempat baru, melalui jaringan perkawanan yg ada. Keyakinan bahwa mutasi tersebut termasuk yg terbaik yg Allah berikan kepada kita, juga akan menambah ke-enjoy-an kita menghadapi mutasi. Ditambah lagi dengan keyakinan bahwa sebenarnya banyak yg bisa kita lakukan di tempat yg baru, kegiatan yg bermanfaat.
Sesungguhnya semua tempat di bumi ini adalah milik Allah. Di sana ada manusia lain, yg sama-sama saling membutuhkan, yg juga bisa saling memberi manfaat.
Namun, harus dimaklumi, bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan cinta pada hal-hal tertentu. Salah satu di antaranya adalah cinta akan kampung halaman. Dan ini menjadi salah satu alasan tersendiri bagi seseorang untuk akhirnya berharap apakah dia tetap di tempat (tidak mutasi) atau pindah ke tempat baru. Wajar kalo seseorang berharap bisa kembali ke kampungnya, betapa pun sederhana (ato rame, ato kumuh, ato ...seperti apalah) kampungnya. Tempat yg penuh dengan kenangan, apalagi kalo di sana ada ortu yg masih hidup, sanak sodara, dll.
Naah...demikian pula dengan aku. (o alaah, ...ujung-ujungnya begini, tho? ...jadi tnyata dirimu sendiri lagi pengin balik kandang, nih...???) Heheheheh...bgini temen-temen, sekali lagi, ini adalah keinginan yg wajar (& sebenarnya ada alasan-alasan, pertimbangan-pertimbangan, mengapa kami berharap demikian). Dan, aku tetep konsisten qo’ dengan kesiapan mutasiku di atas (enjoy, man...).
Apa pun yg terjadi, itu adalah yg terbaik. Apa yg telah Allah takdirkan, tidak akan luput dari kita. (Tapi) Selama itu belum terjadi, kita masih bisa berusaha & berdoa untuk memilih takdir lain yg kita harapkan. Ya, ngga’??
Friday, June 8, 2007
Aku pengin ini! Yg laen, ga’ boleh pake...
Tulisan ini bermula dari temen di sebuah milis yg curhat tentang salah satu dari tiga anaknya. Kukira ini adalah satu fenomena yg biasa dan sering terjadi pada anak. Dan mungkin juga ini adalah suatu fase (?) yg mesti dilalui seorang anak –saking banyaknya anak yg kulihat pernah berperilaku seperti ini. Tapi, mungkin (hmm...”kayaknya” pasti, dink) juga boleh dikata bahwa pada diri tiap orang mempunyai dasar/potensi sifat demikian. Ya,…setiap orang. Setiap makhluk yg bernama manusia. Dan akan makin terlihat ato gampang terlihat pada manusia kecil yaitu anak-anak, ato … manusia dewasa … yg bersifat kekanak-kanakan. Walo juga, potensi seperti ini–menurutku– ga perlu sampe harus dihilangkan. Cukup dikendalikan.
Jelasnya piye tho, iki [baca: gimana tho, ini]... qo’ masih misterius. Okey, ini aku kutipkan imel dari temen yg curhat tadi. Aku kutip seperlunya, dan aku ubah/lengkapi redaksi kalimatnya seperlunya juga, insya Allah tanpa mengubah maksudnya...
Ini hanya sekadar sharing, munkin ada yg bisa diambil manfaatnya.
Karena aku yakin tiap anak punya keunikan masing-2. Sangat munkin 2 atau lebih anak yg memiliki kasus serupa, tapi ternyata perlu penanganan yg berbeda.
Dulu anakku yg kedua kurang lebih juga berperilaku –sebagiannya seperti anak di atas. Kalo kakak dan adiknya main, sering dia usilin. Apa yg mereka mainin, dimintanya; begitu pula kalo dah ganti mainan, dia ikut ganti juga. Bahkan tidak jarang, tanpa sebab apa pun, tiba2 dia "mukul" adiknya, ... suka ngusilin deh pokoknya. Sampe2 kami (ortunya) juga khawatir kalo2 ini gejala autis; dianya emang sangat aktif (alhamdulillah, autis sih, engga’).
Singkat ceritanya nih, alhamdulillah.. sikapnya yg kayak gituan sekarang dah mereda. Di antara yg kami lakukan terhadapnya adalah kami coba untuk selalu bisa menghadapinya secara wajar; maksudnya tanpa banyak penekanan/pressure terhadap dia, misal maksain dia harus begini, jangan begitu. Tidak terpancing ikut emosi melihat kelakuannya. (emang, sih ... marah kadang ga’ bisa ditahan2, walo penginnya ga’ mo marah. ya, mas Aar?)
Kami berusaha melakukan komunikasi yg lebih "setara" dg dia; sebisanya kami tidak memposisikan diri sebagai "raja/ratu" yg serba tau apa yg terbaik baginya dan oleh karenanya dia harus mengikuti kami. Kami coba berdialog dengannya secara baik2, ... kenapa dia berlaku seperti itu, maunya apa? Lalu coba kami cari/tawarkan alternatif2nya. Kalo pun ternyata dia belum mau,... ya udah kami (termasuk kakaknya) mengalah dulu, beri dia kesempatan untuk menggunakan/memainkan apa yg akan/sedang kita pakai (dg tetap menjaga keamanannya, misalkan waspada terhadap barang2 yg mudah rusak ato berbahaya).
Dan ketika kami berpindah ke aktivitas lain, ternyata dia ngikut juga, dan ngga mau ngalah juga,.. kadang kami (sekali lagi, bersama kakaknya) sepakat aja untuk niggalin dia, ngga nglakuin apa2, ... untuk "mengucilkan/ menghukum" dia. Tapi "pengucilan" ini biasanya ngga lama, dia biasanya pengin bergabung juga.
Atau kami coba cari/alihkan ke kegiatan lain yg lebih bisa dilakukan bersama-sama. Biasanya sih mengambil/membaca buku2. Setelah beginian, biasanya dah mulai normal. Apa yg mo kami lakukan dah mulai bisa dikerjakan kembali.
Memang hal ini kadang tidak mudah dilakukan, dan tidak bisa sekali jalan terus langsung jadi/berhasil. Semuanya berproses, perlu pembiasaan. Perlu waktu.
Selain cara seperti tadi, melalui aktivitasnya di TKIT yg dia ikuti, alhamdulillah hal itu juga turut memberi perubahan kepadanya. Dengan masuk ke TK, dia jadi punya aktivitas lain/baru, punya/bertambah teman2 lagi. Ada interaksi yg laen: dengan temen2nya atau gurunya. Itu semua merupakan masukan dan pengalaman yg bagus buat dia. [Dan ini yg menjadi salah satu alasan kenapa dia belum homeschooling seperti kakaknya –walo dia sendiri juga pengin/iri– yaitu karena "keaktifan" dia yg seperti itu. Kami khawatir malah "mengganggu" proses homeschooling yg baru kami mulai bersama kakaknya.]
Naah... (ternyata) sekarang gantian adiknya yg mulai mengalami/melakukan hal seperti itu. Apa yg kami/kakak2nya lakukan, biasanya dia ikut nimbrung, ... minta agar dapat bagian/berperan, trus ... dia kuasai. Kami pun kembali coba mendekatinya dengan cara tadi.
Heheheheh...muter lagi, nih... :D
Nampaknya –mengulang seperti yg dah ku tulis di depan– hal seperti ini memang bisa jadi merupakan sebuah fase yg lumrah dilalui anak2. Walo antara satu anak dg yg lainnya berbeda, baik dalam hal bentuk perilaku (keegoannnya) atau lama jangka waktunya. Bagaimana dengan anak anda? Anak2 di sekitar/lingkunagn anda?
Setiap anak memang unik. Dan kita sebagai orang tua memang mempunyai peranan untuk menjadi teman bermain dia, sahabat untuk saling berbagi cerita, guru yg memberikan arahannya dengan bijaksana, dan sebagai orang tua yg menjadi tempat yg teduh buat dia berlindung.
Jelasnya piye tho, iki [baca: gimana tho, ini]... qo’ masih misterius. Okey, ini aku kutipkan imel dari temen yg curhat tadi. Aku kutip seperlunya, dan aku ubah/lengkapi redaksi kalimatnya seperlunya juga, insya Allah tanpa mengubah maksudnya...
... anak yg pertama (6 th) th ini masuk SD , yg ke-2 masuk TK (4 th) .. dan yg ke-3 (2 th) masuk play group.. Selain yg formal2 .. kami juga memberikan tambahan pelajaran di rumah... Masalah tebesar adalah anak ke-2 (? tertulis demikian…)...selain sering ikutan belajar bersama kakaknya yg setingkat TK.. di playgroupnya, dia sudah tidak tertarik lagi dg pelajaran di sekolahnya. . Krn kita lihat memang kemampuan anak ke-2 saya jauh di atas rata-rata anak seusia dia (hanya baca dan tulis saja yg belum mau/bisa, ... tp utk ketrampilan gunting, tempel, menggambar .. sudah setingkat anak yg mau masuk SD)... hanya saja ... kelakuannya itu mau seenaknya sendiri .. selalu minta diprioritaskan, …kalau tidak, bakalan ngamuk ...Bertiga mereka belajar dg buku dan peralatan yg sama, tapi ada-ada saja ...yg katanya milik dia lebih jelek lah, atau pengen yg punya adik/kakaknya. . Dan caranya selalu merebut, bukannya meminta baik-baik... bagaimana ya caranya utk mengimbangi emosinya...Nah, berikutnya adalah sharing yg bisa aku berikan...
bahkan kalau sedang belajar komputer semua orang tidak boleh ikutan.. dia yg pegang kendali ...yg laen jadi penonton..
yg laen udah ngalah dan lihat TV... eeh direbutnya pula TV.. sampai kita2 bingung.. apa sih maunya anak ini.. kok usia segitu masih AKU AKU dan AKU ....
Ini hanya sekadar sharing, munkin ada yg bisa diambil manfaatnya.
Karena aku yakin tiap anak punya keunikan masing-2. Sangat munkin 2 atau lebih anak yg memiliki kasus serupa, tapi ternyata perlu penanganan yg berbeda.
Dulu anakku yg kedua kurang lebih juga berperilaku –sebagiannya seperti anak di atas. Kalo kakak dan adiknya main, sering dia usilin. Apa yg mereka mainin, dimintanya; begitu pula kalo dah ganti mainan, dia ikut ganti juga. Bahkan tidak jarang, tanpa sebab apa pun, tiba2 dia "mukul" adiknya, ... suka ngusilin deh pokoknya. Sampe2 kami (ortunya) juga khawatir kalo2 ini gejala autis; dianya emang sangat aktif (alhamdulillah, autis sih, engga’).
Singkat ceritanya nih, alhamdulillah.. sikapnya yg kayak gituan sekarang dah mereda. Di antara yg kami lakukan terhadapnya adalah kami coba untuk selalu bisa menghadapinya secara wajar; maksudnya tanpa banyak penekanan/pressure terhadap dia, misal maksain dia harus begini, jangan begitu. Tidak terpancing ikut emosi melihat kelakuannya. (emang, sih ... marah kadang ga’ bisa ditahan2, walo penginnya ga’ mo marah. ya, mas Aar?)
Kami berusaha melakukan komunikasi yg lebih "setara" dg dia; sebisanya kami tidak memposisikan diri sebagai "raja/ratu" yg serba tau apa yg terbaik baginya dan oleh karenanya dia harus mengikuti kami. Kami coba berdialog dengannya secara baik2, ... kenapa dia berlaku seperti itu, maunya apa? Lalu coba kami cari/tawarkan alternatif2nya. Kalo pun ternyata dia belum mau,... ya udah kami (termasuk kakaknya) mengalah dulu, beri dia kesempatan untuk menggunakan/memainkan apa yg akan/sedang kita pakai (dg tetap menjaga keamanannya, misalkan waspada terhadap barang2 yg mudah rusak ato berbahaya).
Dan ketika kami berpindah ke aktivitas lain, ternyata dia ngikut juga, dan ngga mau ngalah juga,.. kadang kami (sekali lagi, bersama kakaknya) sepakat aja untuk niggalin dia, ngga nglakuin apa2, ... untuk "mengucilkan/ menghukum" dia. Tapi "pengucilan" ini biasanya ngga lama, dia biasanya pengin bergabung juga.
Atau kami coba cari/alihkan ke kegiatan lain yg lebih bisa dilakukan bersama-sama. Biasanya sih mengambil/membaca buku2. Setelah beginian, biasanya dah mulai normal. Apa yg mo kami lakukan dah mulai bisa dikerjakan kembali.
Memang hal ini kadang tidak mudah dilakukan, dan tidak bisa sekali jalan terus langsung jadi/berhasil. Semuanya berproses, perlu pembiasaan. Perlu waktu.
Selain cara seperti tadi, melalui aktivitasnya di TKIT yg dia ikuti, alhamdulillah hal itu juga turut memberi perubahan kepadanya. Dengan masuk ke TK, dia jadi punya aktivitas lain/baru, punya/bertambah teman2 lagi. Ada interaksi yg laen: dengan temen2nya atau gurunya. Itu semua merupakan masukan dan pengalaman yg bagus buat dia. [Dan ini yg menjadi salah satu alasan kenapa dia belum homeschooling seperti kakaknya –walo dia sendiri juga pengin/iri– yaitu karena "keaktifan" dia yg seperti itu. Kami khawatir malah "mengganggu" proses homeschooling yg baru kami mulai bersama kakaknya.]
Naah... (ternyata) sekarang gantian adiknya yg mulai mengalami/melakukan hal seperti itu. Apa yg kami/kakak2nya lakukan, biasanya dia ikut nimbrung, ... minta agar dapat bagian/berperan, trus ... dia kuasai. Kami pun kembali coba mendekatinya dengan cara tadi.
Heheheheh...muter lagi, nih... :D
Nampaknya –mengulang seperti yg dah ku tulis di depan– hal seperti ini memang bisa jadi merupakan sebuah fase yg lumrah dilalui anak2. Walo antara satu anak dg yg lainnya berbeda, baik dalam hal bentuk perilaku (keegoannnya) atau lama jangka waktunya. Bagaimana dengan anak anda? Anak2 di sekitar/lingkunagn anda?
Setiap anak memang unik. Dan kita sebagai orang tua memang mempunyai peranan untuk menjadi teman bermain dia, sahabat untuk saling berbagi cerita, guru yg memberikan arahannya dengan bijaksana, dan sebagai orang tua yg menjadi tempat yg teduh buat dia berlindung.
Monday, June 4, 2007
Ntar, Bi, kita masih mau maen lagi, nich...
Libur tiga hari kemarin, kami manfaatkan sebaik-baiknya, dengan segala kondisi yg ada. Alhamdulillah ini menyenangkan, terutama buat anak-anak.
Salah satunya adalah silaturahim ke rumah temen kantorku. Rumahnya tidak terlalu jauh dari lokasi Wana Wisata (kami sempat singgah di sana sebelum silaturahim), di daerah Kilo 5. Pak Syachran –temen kantorku ini– termasuk temen lamaku. Sebelum ada penggabungan kantor pada tahun 2002, aku sudah satu kantor bersamanya sejak 1996. Rumah kami memang agak berjauhan. Aku sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya.
Tentu, silaturahim kami disambut sangat gembira oleh keluarganya. Cerita masa lalu pun –ketika di kantor lama– “diputar” kembali, biasa … dua temen yg dah lama ga’ ketemu (saling berkunjung). Sebagai orang tua, yg mempunyai anak, saling tukar pengalaman dan info pun terjadi.
Anak-anak pun demikian. Mereka –yg sebenarnya belum begitu saling mengenal sebelumnya– menikmati kebersamaan itu dengan bermain bersama. Namanya anak-anak, asal ketemu, ...apalagi ada mainan, ’dah deh. Rame, ...istilah Pekalongan-nya: rahat. Kalo pun terjadi saling rebutan mainan, itu dah lumrah. Alhamdulillah mereka gampang akrab.
Silaturahim memang bermanfaat. “Murni” silaturahim, tidak dengan embel-embel (sebenarnya ada kepentingan) mau berbisnis, misalkan.
Orang yg kita silaturahimi biasanya akan sangat senang Bahkan mereka biasanya berterima kasih karena kita telah menyempatkan diri, sudi mengunjungi rumah mereka. Walaupun kadang harus “kerepotan” karena kita tidak memberi tahu sebelumnya, mereka tetap gembira menghormati kedatangan kita, menjamu sekadarnya.
Jamuan yg mereka hidangkan buat kita adalah rezki tersendiri buat kita. Hehehe... jadi jangan selalu ngebayangin kalo rezki itu harus berupa uang. Rezki makanan tadi pada hakikatnya (ups! pake istilah ‘hakikat’ sgala...sok serius, nich) tetaplah dari Tuhan, walaupun mereka yg memberi. Tidak jarang juga, dari obrolan-obrolan dalam silaturahim itu, salah satunya akan ada informasi peluang usaha. Ini akan menjadi (peluang) rezki berikutnya. Ya, kan?
Adalah hal yg biasa, dalam silaturahim kita akan saling bercerita tentang (perkembangan) keluarga kita. Dari bermacam-macam sisinya, dari soal anak-anak, pendidikan, pekerjaan, (kontrakan) rumah, sampe lingkungan sekitar rumah. Kita jadi lebih saling mengenal lagi.
Nah, kalo kita sudah ngomongin hal keluarga, satu poin lain yg jarang kelewatan yaitu adanya (sharing) masalah yg dihadapi. Yaa... namanya keluarga, mesti ada lika-likunya. Melalui media silaturahim, alternatif-alternatif solusinya sangat mungkin kita dapatkan. Bahkan, terkadang bukan hanya menjadi alternatif solusi, malahan bisa jadi itulah solusi yg selama ini kita nanti-nantikan.
Tidak dipungkiri juga, bahwa silaturahim akan menambah eratnya jalinan persaudaraan. Termasuk juga, jika ada permasalahan yg terjadi di antara keduanya, sarana ini akan membantu mencairkan suasana tidak kondusif tersebut. Persaudaraan ini akan terus berkesinambungan ketika anak-anak kita melanjutkan tradisi ini.
Begitu indahnya silaturahim, ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kelapangan dada. Anak-anak pun sering kali minta agar bisa lebih berlama-lama lagi ketika diajak untuk pulang. “Bi, ntar aja pulangnya. Kita masih mau maen-maen lagi, nich” ujar mereka waktu aku ajak pulang.
Bagaimana pun kami mesti pulang. Dan, memang...akhirnya kami pun pulang, walau anak-anak masih betah dan pengin terus bermain bersama.
Oh ya, terakhir...satu hal lagi dari silaturahim, biasanya ketika mo pamitan nich, adalah saling mendoakan. Sesuatu yg kadang terasa biasa. Namun, sejatinya orang yg didoakan sungguh akan merasakan kenikmatan tersendiri; mendapatkan tambahan modal kepercayaan diri, optimisme. Sebuah harapan terbangun kembali.
Salah satunya adalah silaturahim ke rumah temen kantorku. Rumahnya tidak terlalu jauh dari lokasi Wana Wisata (kami sempat singgah di sana sebelum silaturahim), di daerah Kilo 5. Pak Syachran –temen kantorku ini– termasuk temen lamaku. Sebelum ada penggabungan kantor pada tahun 2002, aku sudah satu kantor bersamanya sejak 1996. Rumah kami memang agak berjauhan. Aku sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya.
Tentu, silaturahim kami disambut sangat gembira oleh keluarganya. Cerita masa lalu pun –ketika di kantor lama– “diputar” kembali, biasa … dua temen yg dah lama ga’ ketemu (saling berkunjung). Sebagai orang tua, yg mempunyai anak, saling tukar pengalaman dan info pun terjadi.
Anak-anak pun demikian. Mereka –yg sebenarnya belum begitu saling mengenal sebelumnya– menikmati kebersamaan itu dengan bermain bersama. Namanya anak-anak, asal ketemu, ...apalagi ada mainan, ’dah deh. Rame, ...istilah Pekalongan-nya: rahat. Kalo pun terjadi saling rebutan mainan, itu dah lumrah. Alhamdulillah mereka gampang akrab.
Silaturahim memang bermanfaat. “Murni” silaturahim, tidak dengan embel-embel (sebenarnya ada kepentingan) mau berbisnis, misalkan.
Orang yg kita silaturahimi biasanya akan sangat senang Bahkan mereka biasanya berterima kasih karena kita telah menyempatkan diri, sudi mengunjungi rumah mereka. Walaupun kadang harus “kerepotan” karena kita tidak memberi tahu sebelumnya, mereka tetap gembira menghormati kedatangan kita, menjamu sekadarnya.
Jamuan yg mereka hidangkan buat kita adalah rezki tersendiri buat kita. Hehehe... jadi jangan selalu ngebayangin kalo rezki itu harus berupa uang. Rezki makanan tadi pada hakikatnya (ups! pake istilah ‘hakikat’ sgala...sok serius, nich) tetaplah dari Tuhan, walaupun mereka yg memberi. Tidak jarang juga, dari obrolan-obrolan dalam silaturahim itu, salah satunya akan ada informasi peluang usaha. Ini akan menjadi (peluang) rezki berikutnya. Ya, kan?
Adalah hal yg biasa, dalam silaturahim kita akan saling bercerita tentang (perkembangan) keluarga kita. Dari bermacam-macam sisinya, dari soal anak-anak, pendidikan, pekerjaan, (kontrakan) rumah, sampe lingkungan sekitar rumah. Kita jadi lebih saling mengenal lagi.
Nah, kalo kita sudah ngomongin hal keluarga, satu poin lain yg jarang kelewatan yaitu adanya (sharing) masalah yg dihadapi. Yaa... namanya keluarga, mesti ada lika-likunya. Melalui media silaturahim, alternatif-alternatif solusinya sangat mungkin kita dapatkan. Bahkan, terkadang bukan hanya menjadi alternatif solusi, malahan bisa jadi itulah solusi yg selama ini kita nanti-nantikan.
Tidak dipungkiri juga, bahwa silaturahim akan menambah eratnya jalinan persaudaraan. Termasuk juga, jika ada permasalahan yg terjadi di antara keduanya, sarana ini akan membantu mencairkan suasana tidak kondusif tersebut. Persaudaraan ini akan terus berkesinambungan ketika anak-anak kita melanjutkan tradisi ini.
Begitu indahnya silaturahim, ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kelapangan dada. Anak-anak pun sering kali minta agar bisa lebih berlama-lama lagi ketika diajak untuk pulang. “Bi, ntar aja pulangnya. Kita masih mau maen-maen lagi, nich” ujar mereka waktu aku ajak pulang.
Bagaimana pun kami mesti pulang. Dan, memang...akhirnya kami pun pulang, walau anak-anak masih betah dan pengin terus bermain bersama.
Oh ya, terakhir...satu hal lagi dari silaturahim, biasanya ketika mo pamitan nich, adalah saling mendoakan. Sesuatu yg kadang terasa biasa. Namun, sejatinya orang yg didoakan sungguh akan merasakan kenikmatan tersendiri; mendapatkan tambahan modal kepercayaan diri, optimisme. Sebuah harapan terbangun kembali.
Siapa saja yg menyukai untuk mendapatkan kelapangan rezki dan panjang umurnya, hendaklah ia suka/menyambung silaturahim.
Sungguh, (termasuk) sebaik-baik kebajikan adalah seseorang yg menyambung tali persaudaraan dengan kenalan ayah (orang tua)-nya.
Subscribe to:
Posts (Atom)