Sesungguhnya mewujudkan masyarakat atau peradaban yg baik merupakan proyek yg besar, tidak kecil. (walaupun aku tidak menyebutkan secara spesifik ttg masyarakat/peradaban yg baik itu –maaf ya, untuk itu– namun secara umum bisa dilihat dari hal-hal kebaikan & harapan yg secara universal kita dambakan bersama, baik dari sisi pendidikan, kesejahteraan, sosial, maupun keamanannya) Proyek besar itu tentu mustahil untuk dikerjakan sendiri oleh pihak tertentu, baik perorangan maupun lembaga. Semua pihak harus terlibat/dilibatkan dalam proyek ini. Ini adalah untuk kebaikan dan kebahagian semua, bahkan tidak hanya untuk para pelakunya, untuk pihak yg tidak mau terlibat pun akan mendapat berkah/manfaatnya ketika proyek ini berhasil dijalankan.
* * *
Sekali lagi, semua pihak harus terlibat. Pun, sampai kepada unsur terkecil di masyarakat, yaitu keluarga, bahkan perorangannya. Semuanya harus berkontribusi, membangun bersama.
Duh, senengnya, ya...kalo hal demikian terjadi. Kebayang, kan...hidup akan nyaman, hidup akan aman. Hehehe...ternyata hal demikian tidak terjadi, kayaknya tidak akan terjadi (segampang itu), deh. Sudah “aturannya” bahwa manusia itu diberi potensi untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Secara normal setiap orang akan mengetahui –dengan akal sehat dan hati jernihnya– kebaikan itu apa, kebaikan itu mana. Sebaliknya dia juga tahu, apa itu keburukan, mana keburukan itu. Dan semestinya, dia akan memilih kebaikan karena tahu (pasti) ada manfaatnya. Dia ambil kebaikan itu, dia buang keburukan yg ada. Dia lakukan kebaikan itu dan dia tinggalkan keburukannya. Nyatanya…tidaklah mudah. Banyak hal yg indah, kesenangan, dan kemudahan yg dilihat manusia, (seolah) melingkupi dan mengelilingi keburukan tadi. Dengan hiasan seperti itulah, banyak orang yg akhirnya lebih memilih keburukan ketimbang kebaikan. Kebaikan-kebaikan itu –yg akhirnya tidak mereka pilih– dalam penglihatan mereka penuh dikelilingi oleh kesulitan, kepayahan, dan hal-hal yg tidak menarik.
“Kelakuan”/fenomena semacam ini tidak hanya terjadi pada manusia secara perorangan, namun juga pada mereka secara kumpulan, komunitas, lembaga. Inilah sunnatullah. Inilah pertarungan yg akan selalu terjadi selama manusia itu ada di dunia ini.
Inilah dunia, Mas/Mbak...
* * *
Pada dunia seperti inilah proyek besar di atas akan dibangun. Dan itu harus dilakukan oleh banyak pihak, kalau tidak semua pihak. Mungkinkah itu? Percayalah, optimis, bahwa itu tetap bisa dilakukan. Ya, tetap akan bisa dilakukan, walau di tengah-tengah kondisi demikian.
Lakukanlah mulai dari diri kita sendiri, mulai dari yg kecil-kecil yg kita mampu, dan jangan tunda-tunda, lakukan sekarang juga. Mulailah melangkah. Langkah panjang kita untuk proyek besar itu harus dimulai dari satu langkah pendek untuk menyelesaikan bagian kecil darinya. Semua harus turut berusaha. Mulai dari unsur terkecil di masyarakat: keluarga hingga tingkat kelembagaan besar yg ada.
Namun, hal ini tidak boleh berhenti sampai poin ini saja. Masing-masing pihak melakukan dan mengambil langkah kebaikannya sendiri-sendiri. Masing-masing merasa telah memberikan kontribusinya, tanpa mau peduli dengan pihak lainnya, baik yg sama-sama memberikan kontribusi maupun yg hanya berdiam diri atau bahkan malah menggerogoti proyek itu. Harus ada komunikasi, dialog, saling mengoreksi, dan saling mengingatkan di antara semua pihak. Dengan kondisi manusia yg mempunyai kecenderungan seperti di atas terhadap kebaikan & keburukan, ditambah lagi bahwa mereka itu tempatnya salah dan lupa, maka komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah satu keniscayaan adanya.
Komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah sesuatu yg baik. Maksudnya untuk mengembalikan sesuatu pada relnya; agar semuanya tetap mengarah dan menuju pada sasaran yg telah disepakati. Akan tetapi, proses ini pun harus dilakukan dengan bijak. Manusia (termasuk anak-anak di dalamnya) tetaplah manusia, yg mempunyai akal, juga mempunyai perasaan. Ketika dia/mereka keliru, melakukan suatu kesalahan, tunjukkan dan ingatkanlah dengan kearifan. Seringkali mereka tidak mau disalahkan –walau mereka tahu sebenarnya bersalah– hanya karena cara komunikasi/proses mengingatkannya kurang tepat. Kurang tepat kata-katanya, waktunya, atau tempatnya. Mereka butuh kemanusiaannya tetap dimanusiakan. Ini tentu tanpa bermaksud meniadakan proses pengingatan yg lebih “tegas”. Sekali lagi, pengingatan ini tetap dengan memperhatikan ketepatan kata, waktu, & tempat, seoptimal yg kita mampu.
Penekanannya di sini adalah, kadang kita terlalu over dalam mengingatkan [kalau bukan menyalahkan] orang/satu pihak. Alih-alih dia mau menerima pengingatan kita, dia malah melawan dan bisa makin menjadi-jadi dalam kesalahannya. Maka, model pengingatan “apakah tidak tidak lebih baik seperti ini aja?” dan sejenisnya, dengan tetap membuka ruang bagi dia untuk memberikan argumen/penjelasan terhadap tindakan/kesalahannya, kadang lebih sesuai dengan kemanusiaannya.
Emang susah jadi manusia, hehehe... betul ga sih, celetukan ini?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment