Saatnya: ZUZAZU...
Hari ini adalah hari terakhir di bulan ini pada tahun ini (hehehe...istilahnya ’yak apa ajah). Aku sengaja menghabiskan bulan ini –sebagai bulan pertama ’on air’nya blog ini– dengan menulis berbagai pengantar. Dan inilah gong-nya, ... puncaknya.
* * *
Apalah arti sebuah nama? Kata-kata yg terkenal; kadang ada pro-kontranya. Umumnya sih, orang kasih nama tuh, mesti ada artinya. Maksudku, ketika dia memberi suatu nama mesti ada latar belakang, atau alasan, atau harapan, ... emm... paling ga’ ada semangat yg mengiringi dia waktu itu. Ya, ngga? [ya, ga seh.... heheheh...maksa!]. Nah, untuk mengakomodir orang-orang seperti itu, yg menanyakan 'kenapa sih, nama blognya zuzazu? apa maksudnya? apa artinya? dst...' maka tulisan ini dibikin.
zuzazu. Zu pertama Zufar, lengkapnya Zufar Abdur Rauf (9 th). Kadang dipanggil Jupal, Yupal, ato Zoofanc (yg ini kadang ta' pake sebagai nickname/id-ku). Anak pertama. Sempat sekolah hingga kelas 3. Memasuki kelas 4, setelah masuk beberapa bulan, dia keluar, dan (kami) lebih memilih untuk homeschooling. Relatif enam bulan ini sudah, berjalan HSnya. Masih perlu banyak perbaikan dan terus berproses. Sekarang dia lagi suka berenang, dan mulai ikut-ikutan pengin bikin blog, hehehe ... ngikutin abinya (Bi, ajarin abang bikin (blog) internet kayak, Abi, donk..” katanya). Jadilah dia membuat karyanya.
zuzazu. Za kedua Zahron, lengkapnya Muhammad Zahron (6 th). Kadang dipanggil Aron; ada juga (duluu..) 1 orang yg manggil Ayonk. Anak kedua. Kata orang-orang dia lebih ‘sosial’ dibanding kakaknya, enak bergaul atau diajak bergaul. Tapi dia (dalam perkembangan sementara ini) kadang ga’ terduga, misal ... tiba-tiba marah, atau nggangguin adiknya tanpa sebab. Dia sekarang masuk TK A (TK kecil). Sebenarnya dia juga pengin untuk sekolah/belajar di rumah aja kayak abangnya. heheheheh...terang aja, dunk...ngiri liat abangnya sering main di rumah. Cuma kami belum mengizinkannya, bisa (nge)repot(in) nanti, kalo diizinkan sekarang. Biarlah dia ke TK dulu sambil meredakan sikap/tindakan 'tidak terduga'nya. O ya, kalau Zufar suka dipanggil dengan sebutan Abang, dia minta dipanggil dengan sebutan Mas ajah. Jadinya kita biasa manggilnya Mas Aron, Mas Zahron. Foto-foto lainnya ada di sini.
zuzazu. Zu ketiga Zuhair. Lengkapnya Abbas Hasan Zuhair (2,5 th). Kadang dipanggil Yu’el. Paling digemesi ama orang, nih... untuk saat ini. Biasalah, gantian dengan kakak-kakaknya, karena yaa...masih kecil, imut, lucu... Nah, beda dengan kakak-kakaknya, dia nih ga’ ikutan pake imunisasi. Pake herba aja. Umminya dah biasa konsumsi herba (setelah mengenal konsep herba) sejak dia (sang Ummi) hamil. Dan sejak lahir juga, dah biasa dia (kali ini maksudnya ke Yu’el, ya...hihihi) dikasih herba: madu atau yg laennya. Alhamdulillah sampai sekarang sehat-sehat ajah, dia masih bertahan sebagai yg ’tergemuk’ di antara sodara-sodaranya. Sekarang dia ngomongnya belum sempurna. Potongan suku kata terakhirnya aja yg jelas: ..wat bang, maksudnya (ada) pesawat terbang, contohnya tuh.
Ngomong-ngomong soal nama (panggilan) yg pake huruf ’zet’ (Z) semua, sebenarnya agak kebetulan ajah, .. ga’ direncanain sejak awal. Pertama ngasih nama Zufar, yaa...kira-kira hanya asal cari nama yg masih jarang dipake orang lah, ... cari di buku nama-nama bayi. Akhirnya ketemu & disepakatinya pake nama Zufar itu. Lalu, anak kedua, ... kebetulan kami tertarik ama gurunya Hasan Al-Banna, kita pake namanya: Muhammad Zahron. Yg ketiga ... akhirnya ngikut aja, ... yaa.. pake nama yg ada ’zet’nya deh, sekalian. Hehehehe, gitchu..
Thursday, May 31, 2007
Wednesday, May 30, 2007
Apakah Tidak Lebih Baik Seperti Ini Saja?
Sesungguhnya mewujudkan masyarakat atau peradaban yg baik merupakan proyek yg besar, tidak kecil. (walaupun aku tidak menyebutkan secara spesifik ttg masyarakat/peradaban yg baik itu –maaf ya, untuk itu– namun secara umum bisa dilihat dari hal-hal kebaikan & harapan yg secara universal kita dambakan bersama, baik dari sisi pendidikan, kesejahteraan, sosial, maupun keamanannya) Proyek besar itu tentu mustahil untuk dikerjakan sendiri oleh pihak tertentu, baik perorangan maupun lembaga. Semua pihak harus terlibat/dilibatkan dalam proyek ini. Ini adalah untuk kebaikan dan kebahagian semua, bahkan tidak hanya untuk para pelakunya, untuk pihak yg tidak mau terlibat pun akan mendapat berkah/manfaatnya ketika proyek ini berhasil dijalankan.
* * *
Sekali lagi, semua pihak harus terlibat. Pun, sampai kepada unsur terkecil di masyarakat, yaitu keluarga, bahkan perorangannya. Semuanya harus berkontribusi, membangun bersama.
Duh, senengnya, ya...kalo hal demikian terjadi. Kebayang, kan...hidup akan nyaman, hidup akan aman. Hehehe...ternyata hal demikian tidak terjadi, kayaknya tidak akan terjadi (segampang itu), deh. Sudah “aturannya” bahwa manusia itu diberi potensi untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Secara normal setiap orang akan mengetahui –dengan akal sehat dan hati jernihnya– kebaikan itu apa, kebaikan itu mana. Sebaliknya dia juga tahu, apa itu keburukan, mana keburukan itu. Dan semestinya, dia akan memilih kebaikan karena tahu (pasti) ada manfaatnya. Dia ambil kebaikan itu, dia buang keburukan yg ada. Dia lakukan kebaikan itu dan dia tinggalkan keburukannya. Nyatanya…tidaklah mudah. Banyak hal yg indah, kesenangan, dan kemudahan yg dilihat manusia, (seolah) melingkupi dan mengelilingi keburukan tadi. Dengan hiasan seperti itulah, banyak orang yg akhirnya lebih memilih keburukan ketimbang kebaikan. Kebaikan-kebaikan itu –yg akhirnya tidak mereka pilih– dalam penglihatan mereka penuh dikelilingi oleh kesulitan, kepayahan, dan hal-hal yg tidak menarik.
“Kelakuan”/fenomena semacam ini tidak hanya terjadi pada manusia secara perorangan, namun juga pada mereka secara kumpulan, komunitas, lembaga. Inilah sunnatullah. Inilah pertarungan yg akan selalu terjadi selama manusia itu ada di dunia ini.
Inilah dunia, Mas/Mbak...
* * *
Pada dunia seperti inilah proyek besar di atas akan dibangun. Dan itu harus dilakukan oleh banyak pihak, kalau tidak semua pihak. Mungkinkah itu? Percayalah, optimis, bahwa itu tetap bisa dilakukan. Ya, tetap akan bisa dilakukan, walau di tengah-tengah kondisi demikian.
Lakukanlah mulai dari diri kita sendiri, mulai dari yg kecil-kecil yg kita mampu, dan jangan tunda-tunda, lakukan sekarang juga. Mulailah melangkah. Langkah panjang kita untuk proyek besar itu harus dimulai dari satu langkah pendek untuk menyelesaikan bagian kecil darinya. Semua harus turut berusaha. Mulai dari unsur terkecil di masyarakat: keluarga hingga tingkat kelembagaan besar yg ada.
Namun, hal ini tidak boleh berhenti sampai poin ini saja. Masing-masing pihak melakukan dan mengambil langkah kebaikannya sendiri-sendiri. Masing-masing merasa telah memberikan kontribusinya, tanpa mau peduli dengan pihak lainnya, baik yg sama-sama memberikan kontribusi maupun yg hanya berdiam diri atau bahkan malah menggerogoti proyek itu. Harus ada komunikasi, dialog, saling mengoreksi, dan saling mengingatkan di antara semua pihak. Dengan kondisi manusia yg mempunyai kecenderungan seperti di atas terhadap kebaikan & keburukan, ditambah lagi bahwa mereka itu tempatnya salah dan lupa, maka komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah satu keniscayaan adanya.
Komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah sesuatu yg baik. Maksudnya untuk mengembalikan sesuatu pada relnya; agar semuanya tetap mengarah dan menuju pada sasaran yg telah disepakati. Akan tetapi, proses ini pun harus dilakukan dengan bijak. Manusia (termasuk anak-anak di dalamnya) tetaplah manusia, yg mempunyai akal, juga mempunyai perasaan. Ketika dia/mereka keliru, melakukan suatu kesalahan, tunjukkan dan ingatkanlah dengan kearifan. Seringkali mereka tidak mau disalahkan –walau mereka tahu sebenarnya bersalah– hanya karena cara komunikasi/proses mengingatkannya kurang tepat. Kurang tepat kata-katanya, waktunya, atau tempatnya. Mereka butuh kemanusiaannya tetap dimanusiakan. Ini tentu tanpa bermaksud meniadakan proses pengingatan yg lebih “tegas”. Sekali lagi, pengingatan ini tetap dengan memperhatikan ketepatan kata, waktu, & tempat, seoptimal yg kita mampu.
Penekanannya di sini adalah, kadang kita terlalu over dalam mengingatkan [kalau bukan menyalahkan] orang/satu pihak. Alih-alih dia mau menerima pengingatan kita, dia malah melawan dan bisa makin menjadi-jadi dalam kesalahannya. Maka, model pengingatan “apakah tidak tidak lebih baik seperti ini aja?” dan sejenisnya, dengan tetap membuka ruang bagi dia untuk memberikan argumen/penjelasan terhadap tindakan/kesalahannya, kadang lebih sesuai dengan kemanusiaannya.
Emang susah jadi manusia, hehehe... betul ga sih, celetukan ini?
* * *
Sekali lagi, semua pihak harus terlibat. Pun, sampai kepada unsur terkecil di masyarakat, yaitu keluarga, bahkan perorangannya. Semuanya harus berkontribusi, membangun bersama.
Duh, senengnya, ya...kalo hal demikian terjadi. Kebayang, kan...hidup akan nyaman, hidup akan aman. Hehehe...ternyata hal demikian tidak terjadi, kayaknya tidak akan terjadi (segampang itu), deh. Sudah “aturannya” bahwa manusia itu diberi potensi untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Secara normal setiap orang akan mengetahui –dengan akal sehat dan hati jernihnya– kebaikan itu apa, kebaikan itu mana. Sebaliknya dia juga tahu, apa itu keburukan, mana keburukan itu. Dan semestinya, dia akan memilih kebaikan karena tahu (pasti) ada manfaatnya. Dia ambil kebaikan itu, dia buang keburukan yg ada. Dia lakukan kebaikan itu dan dia tinggalkan keburukannya. Nyatanya…tidaklah mudah. Banyak hal yg indah, kesenangan, dan kemudahan yg dilihat manusia, (seolah) melingkupi dan mengelilingi keburukan tadi. Dengan hiasan seperti itulah, banyak orang yg akhirnya lebih memilih keburukan ketimbang kebaikan. Kebaikan-kebaikan itu –yg akhirnya tidak mereka pilih– dalam penglihatan mereka penuh dikelilingi oleh kesulitan, kepayahan, dan hal-hal yg tidak menarik.
“Kelakuan”/fenomena semacam ini tidak hanya terjadi pada manusia secara perorangan, namun juga pada mereka secara kumpulan, komunitas, lembaga. Inilah sunnatullah. Inilah pertarungan yg akan selalu terjadi selama manusia itu ada di dunia ini.
Inilah dunia, Mas/Mbak...
* * *
Pada dunia seperti inilah proyek besar di atas akan dibangun. Dan itu harus dilakukan oleh banyak pihak, kalau tidak semua pihak. Mungkinkah itu? Percayalah, optimis, bahwa itu tetap bisa dilakukan. Ya, tetap akan bisa dilakukan, walau di tengah-tengah kondisi demikian.
Lakukanlah mulai dari diri kita sendiri, mulai dari yg kecil-kecil yg kita mampu, dan jangan tunda-tunda, lakukan sekarang juga. Mulailah melangkah. Langkah panjang kita untuk proyek besar itu harus dimulai dari satu langkah pendek untuk menyelesaikan bagian kecil darinya. Semua harus turut berusaha. Mulai dari unsur terkecil di masyarakat: keluarga hingga tingkat kelembagaan besar yg ada.
Namun, hal ini tidak boleh berhenti sampai poin ini saja. Masing-masing pihak melakukan dan mengambil langkah kebaikannya sendiri-sendiri. Masing-masing merasa telah memberikan kontribusinya, tanpa mau peduli dengan pihak lainnya, baik yg sama-sama memberikan kontribusi maupun yg hanya berdiam diri atau bahkan malah menggerogoti proyek itu. Harus ada komunikasi, dialog, saling mengoreksi, dan saling mengingatkan di antara semua pihak. Dengan kondisi manusia yg mempunyai kecenderungan seperti di atas terhadap kebaikan & keburukan, ditambah lagi bahwa mereka itu tempatnya salah dan lupa, maka komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah satu keniscayaan adanya.
Komunikasi dan saling mengingatkan ini adalah sesuatu yg baik. Maksudnya untuk mengembalikan sesuatu pada relnya; agar semuanya tetap mengarah dan menuju pada sasaran yg telah disepakati. Akan tetapi, proses ini pun harus dilakukan dengan bijak. Manusia (termasuk anak-anak di dalamnya) tetaplah manusia, yg mempunyai akal, juga mempunyai perasaan. Ketika dia/mereka keliru, melakukan suatu kesalahan, tunjukkan dan ingatkanlah dengan kearifan. Seringkali mereka tidak mau disalahkan –walau mereka tahu sebenarnya bersalah– hanya karena cara komunikasi/proses mengingatkannya kurang tepat. Kurang tepat kata-katanya, waktunya, atau tempatnya. Mereka butuh kemanusiaannya tetap dimanusiakan. Ini tentu tanpa bermaksud meniadakan proses pengingatan yg lebih “tegas”. Sekali lagi, pengingatan ini tetap dengan memperhatikan ketepatan kata, waktu, & tempat, seoptimal yg kita mampu.
Penekanannya di sini adalah, kadang kita terlalu over dalam mengingatkan [kalau bukan menyalahkan] orang/satu pihak. Alih-alih dia mau menerima pengingatan kita, dia malah melawan dan bisa makin menjadi-jadi dalam kesalahannya. Maka, model pengingatan “apakah tidak tidak lebih baik seperti ini aja?” dan sejenisnya, dengan tetap membuka ruang bagi dia untuk memberikan argumen/penjelasan terhadap tindakan/kesalahannya, kadang lebih sesuai dengan kemanusiaannya.
Emang susah jadi manusia, hehehe... betul ga sih, celetukan ini?
Monday, May 28, 2007
"Mau mbangun (rumah) kah, Mas?"
Sinergi Itu...
Dengan logat khas orang sini, teman kantorku bertanya ketika melihat header blogku. Ya, dianya memang belum akrab dengan internet/blog, jadi wajar aja pertanyaannya itu. Dan aku nanggapi seperlunya aja.
Ketika kuangkat tentang keluarga sebelum ini, tentunya tidak lantas harus disimpulkan bahwa “penentu” terjadinya sebuah masyarakat atau peradaban yg baik hanyalah bergantung pada faktor keluarga saja. Tidak demikian, bukan? Keluarga cuma salah satunya. Semua unsur yg ada pada sebuah peradaban tentunya mengambil & mempunyai peranannya masing-masing.
Setiap orang (manusia) pun -tidak hanya dalam kumpulan yg disebut keluarga- mempunyai peranan. Karena sesungguhnya dari pribadi-pribadi inilah suatu keluarga terbentuk. Dan setiap orang tidak hanya berada dalam satu lingkungan yg disebut keluarga, namun dia juga punya lingkungan/komunitas lain yg bernama kantor, sekolah, pasar, atau yg lainnya. Setiap lingkungan dan komunitas tadi lagi-lagi punya peranan juga untuk terwujudnya peradaban yg diidam-idamkan.
Tidak hanya itu, bahkan sesungguhnya semua makhluk/benda yg ada di alam ini mengambil perannya masing-masing. Dari airnya yg banyak dibutuhkan oleh manusia & tetumbuhan, dari tumbuhan & hutannya sendiri, beragam binatang yg ada, dan lain-lain…semuanya punya peranan. Begitu kompleksnya, memang. Dan semuanya harus memfungsikan perannya dengan baik sehingga terjadi keharmonisan. Semuanya harus bergerak secara sinergis.
Yg perlu kita (ketahui dan) ingat kembali adalah “posisi” dari masing-masing unsur tadi dalam melakukan peranannya. Bahwa selain manusia, semua makhluk/benda yg ada di alam ini akan memainkan perannya sesuai fungsi mereka masing-masing, tidak akan ada yg keluar dari fungsinya. Pasti, akan sesuai dengan insting & karakteristik mereka yg secara normal tidak akan berubah-ubah. Air, misalnya, selalu akan bergerak ke tempat yg lebih rendah. Dia tidak punya pilihan lain selain itu. Dia juga akan “membagi” dirinya ketika tempat yg menampung dirinya sudah tidak mencukupi; dia mesti akan meluber/melimpah (banjir) ke tempat terdekatnya. Demikian seterusnya kelakuan setiap makhluk/benda di alam, di luar manusia. Mereka akan berjalan secara alami, natural. Mereka tidak punya kemampuan mengendalikan diri, memilih keputusan yg lain selain yg sudah menjadi karakternya. Mereka hanya mencari keseimbangan, mencari “keharmonisan” yg baru ketika keseimbangan yg ada di sekelilingnya berubah.
Adapun dengan manusia, berbeda dengan mereka tadi. Satu karakter/potensi yg dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh mereka adalah kemampuannya untuk memilih. Konsekuensi dari adanya kekuasaan memilih ini, tentunya adalah ketika pilihannya sejalan dengan karakter/fungsi makhluk lainnya maka akan menjaga keseimbangan dan keharmonisan yg telah ada. Sebaliknya ketika pilihannya tidak sejalan dengan fungsi makhluk lainnya maka akan mengganggu & mengubah keseimbangan yg ada, & selanjutnya yg akan terjadi yaitu makhluk-makhluk lain akan turut menyesuaikan, mencari keseimbangan baru.
Secara sederhana, yg terjadi pada manusia adalah dia memiliki kemampuan untuk memilih. Dan pilihan itu adalah antara kebaikan dan keburukan. Dan secara manusiawi, dari hati kecilnya, manusia tahu akan kebaikan. Dan tahu bahwa dia semestinya memilih kebaikan itu, agar (terus terjaga) terjadi kebaikan-kebaikan berikutnya. Namun, kita juga tahu, bahwa ternyata hal-hal yg buruk itu banyak dikelilingi dan dihiasi dengan keindahan-keindahan, sehingga banyak yg lebih memilih keburukan dibanding kebaikan. Dengan berbagai alasan (yg dicari-cari).
Kembali kepada keluarga. Di sinilah salah satu faktor yg sangat penting & menentukan untuk wujudnya manusia-manusia yg bisa mengambil pilihan-pilihan yg sinergis tadi. Keluarga yg sehat, yg peduli dengan semua anggota keluarganya. Di sinilah pendidikan awal kali diberikan. Dan di sinilah sebenarnya dasar/modal pendidikan itu akan banyak diberikan & sekaligus didapat.
Dan...dalam pengertian seperti inilah, blog ini megambil header sebagaimana tercantum di atas. Keluarga, sebagai satu titik di antara banyak titik dalam satu garis yg menuju ke suatu arah.
* “Jadi, sebenarnya aku ga lagi mbangun rumah, Mba… Klo itu mah, perlu banyak batu bata, atuuh...” hehehe… ;-) *
Dengan logat khas orang sini, teman kantorku bertanya ketika melihat header blogku. Ya, dianya memang belum akrab dengan internet/blog, jadi wajar aja pertanyaannya itu. Dan aku nanggapi seperlunya aja.
Ketika kuangkat tentang keluarga sebelum ini, tentunya tidak lantas harus disimpulkan bahwa “penentu” terjadinya sebuah masyarakat atau peradaban yg baik hanyalah bergantung pada faktor keluarga saja. Tidak demikian, bukan? Keluarga cuma salah satunya. Semua unsur yg ada pada sebuah peradaban tentunya mengambil & mempunyai peranannya masing-masing.
Setiap orang (manusia) pun -tidak hanya dalam kumpulan yg disebut keluarga- mempunyai peranan. Karena sesungguhnya dari pribadi-pribadi inilah suatu keluarga terbentuk. Dan setiap orang tidak hanya berada dalam satu lingkungan yg disebut keluarga, namun dia juga punya lingkungan/komunitas lain yg bernama kantor, sekolah, pasar, atau yg lainnya. Setiap lingkungan dan komunitas tadi lagi-lagi punya peranan juga untuk terwujudnya peradaban yg diidam-idamkan.
Tidak hanya itu, bahkan sesungguhnya semua makhluk/benda yg ada di alam ini mengambil perannya masing-masing. Dari airnya yg banyak dibutuhkan oleh manusia & tetumbuhan, dari tumbuhan & hutannya sendiri, beragam binatang yg ada, dan lain-lain…semuanya punya peranan. Begitu kompleksnya, memang. Dan semuanya harus memfungsikan perannya dengan baik sehingga terjadi keharmonisan. Semuanya harus bergerak secara sinergis.
Yg perlu kita (ketahui dan) ingat kembali adalah “posisi” dari masing-masing unsur tadi dalam melakukan peranannya. Bahwa selain manusia, semua makhluk/benda yg ada di alam ini akan memainkan perannya sesuai fungsi mereka masing-masing, tidak akan ada yg keluar dari fungsinya. Pasti, akan sesuai dengan insting & karakteristik mereka yg secara normal tidak akan berubah-ubah. Air, misalnya, selalu akan bergerak ke tempat yg lebih rendah. Dia tidak punya pilihan lain selain itu. Dia juga akan “membagi” dirinya ketika tempat yg menampung dirinya sudah tidak mencukupi; dia mesti akan meluber/melimpah (banjir) ke tempat terdekatnya. Demikian seterusnya kelakuan setiap makhluk/benda di alam, di luar manusia. Mereka akan berjalan secara alami, natural. Mereka tidak punya kemampuan mengendalikan diri, memilih keputusan yg lain selain yg sudah menjadi karakternya. Mereka hanya mencari keseimbangan, mencari “keharmonisan” yg baru ketika keseimbangan yg ada di sekelilingnya berubah.
Adapun dengan manusia, berbeda dengan mereka tadi. Satu karakter/potensi yg dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh mereka adalah kemampuannya untuk memilih. Konsekuensi dari adanya kekuasaan memilih ini, tentunya adalah ketika pilihannya sejalan dengan karakter/fungsi makhluk lainnya maka akan menjaga keseimbangan dan keharmonisan yg telah ada. Sebaliknya ketika pilihannya tidak sejalan dengan fungsi makhluk lainnya maka akan mengganggu & mengubah keseimbangan yg ada, & selanjutnya yg akan terjadi yaitu makhluk-makhluk lain akan turut menyesuaikan, mencari keseimbangan baru.
Secara sederhana, yg terjadi pada manusia adalah dia memiliki kemampuan untuk memilih. Dan pilihan itu adalah antara kebaikan dan keburukan. Dan secara manusiawi, dari hati kecilnya, manusia tahu akan kebaikan. Dan tahu bahwa dia semestinya memilih kebaikan itu, agar (terus terjaga) terjadi kebaikan-kebaikan berikutnya. Namun, kita juga tahu, bahwa ternyata hal-hal yg buruk itu banyak dikelilingi dan dihiasi dengan keindahan-keindahan, sehingga banyak yg lebih memilih keburukan dibanding kebaikan. Dengan berbagai alasan (yg dicari-cari).
Kembali kepada keluarga. Di sinilah salah satu faktor yg sangat penting & menentukan untuk wujudnya manusia-manusia yg bisa mengambil pilihan-pilihan yg sinergis tadi. Keluarga yg sehat, yg peduli dengan semua anggota keluarganya. Di sinilah pendidikan awal kali diberikan. Dan di sinilah sebenarnya dasar/modal pendidikan itu akan banyak diberikan & sekaligus didapat.
Dan...dalam pengertian seperti inilah, blog ini megambil header sebagaimana tercantum di atas. Keluarga, sebagai satu titik di antara banyak titik dalam satu garis yg menuju ke suatu arah.
* “Jadi, sebenarnya aku ga lagi mbangun rumah, Mba… Klo itu mah, perlu banyak batu bata, atuuh...” hehehe… ;-) *
(Tuhan) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada (setiap) ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? [Al-Mulk:3]
...kepada-Nya lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun secara terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. [Ali Imron:83]
Makanlah olehmu dari rezki yg (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yg baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur). [Saba’:15]
Tuesday, May 22, 2007
keluarga
Nih, sekadar untuk mengingatkan kita akan nilai sebuah keluarga. Kadang kita yg sudah berada di dalam keluarga ini –baik sebagai anak, saudara, ortu (apalagi), ato yg laennya– hanya menikmatin jalannya keluarga ini apa adanya. Tanpa menyadari betapa penting perannya sebuah keluarga dalam satu masyarakat (ato yg lebih besar/luas dari itu). Coba simak beberapa pernyataan berikut, yg tidak mustahil sudah biasa kita dengar/ketahui:
Hasan al-Banna dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa keluarga adalah miniatur umat/masyarakat. Jika sudah terbangun keluarga-keluarga yg shalih/sehat, umat pun akan menjadi shalih.
Sebuah gerakan dakwah ada yg memberikan arti keluarga sebagai lembaga terpenting dalam proses pembentukan dan perbaikan kepribadian individu, masyarakat, dan bangsa
Sekali lagi, itu adalah hal yg sudah kita ketahui bersama (yg belum tau, yaa... barusan dah tau, kan..) tapi banyak orang yg ‘tidak sadar’ lagi akan hal (nilai sebuah keluarga) tadi ketika menjalani/menikmati berjalannya keluarga itu,...dah pokoknya mengalir,... gak peduli kayak apa & ke mana jalannya. Yg penting, perut (smua anggota keluarga) terisi, anak2 bisa sekolah, bisa main, dst...
Gambaran gimana pentingnya peran sebuah keluarga ini lebih bisa kita liat lagi pada ungkapan yg diberikan oleh kawan saya, bu Ines. Saya kutipkan selengkapnya, ya...
Keluarga adalah Aset Bangsa
Setiap keluarga adalah penting
Setiap keluarga memiliki potensi baik
Setiap keluarga memiliki peran membentuk kualitas bangsa
Setiap keluarga adalah berharga
Jangan pernah lagi berkata "kita cuma keluarga kecil yang tidak berdaya" karena ibarat mahakarya gambar digital yang tersusun dari pixel-pixel kecil, kita adalah pixel-pixel penting penyusun bangsa.
yuk, berdayakan keluarga kita
Tuesday, May 15, 2007
sabar...
assalamu'alaikum sahabat,
terima kasih telah berkunjung ke rumah online ku
maaf, kalo masih belum terisi
semoga dlm beberapa hari ini tulisannya dah bisa di-posting
'tur nuwun :-)
wassalam
terima kasih telah berkunjung ke rumah online ku
maaf, kalo masih belum terisi
semoga dlm beberapa hari ini tulisannya dah bisa di-posting
'tur nuwun :-)
wassalam
Subscribe to:
Posts (Atom)