Tuesday, January 13, 2009

Mengapa Kita Tidak Perlu Mendukung Palestina [dan Bantahnnaya]

tulisannya mas Akmal, nih

Bagus buat pengetahuan dan pemahaman kita tentang konflik Palestina


* * *


Mengapa Kita Tidak Perlu Mendukung Palestina (dan Bantahannya)



assalaamu’alaikum wr. wb.

Konflik di Jalur Gaza belakangan ini memunculkan wacana yang sangat menarik. Barangkali baru sekaranglah orang-orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara lugas, bahkan dengan resiko dikucilkan dari pergaulan sesama Muslim. Di Indonesia, sebagian umat Muslim pun tidak canggung untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usaha-usaha mendukung Palestina. Artikel ini insya Allah akan membantahnya dengan cara sebaik mungkin.


Hak Historis Bangsa Yahudi


Ini adalah argumen ‘standar’ untuk membenarkan pendirian negara Israel. Bangsa Yahudi senantiasa mengklaim bahwa mereka berhak atas tanah Palestina. Konon, mereka sudah tinggal di negeri itu sejak jamannya Nabi Ya’qub as.

Argumen ini sebenarnya sangat lemah, karena pada jaman Nabi Ya’qub as., agama Yahudi belum lagi ada. Bani Israil adalah nama yang diberikan kepada keturunan beliau, namun nama itu baru dikenal setelah masa kehidupannya. Tambahan lagi, Nabi Ya’qub as. dan keluarganya bermigrasi ke Mesir secara sukarela saat Nabi Yusuf as. menjadi bendahara negara pada masa itu. Karena mereka pindah secara sukarela, maka tanah asalnya tentu tak bisa diklaim lagi. Lagipula, kalau yang diklaim adalah peninggalan Nabi Ya’qub as., maka umat Islam akan merasa lebih berhak, karena di dalam ajaran Islam, pertalian aqidah lebih kental daripada hubungan darah.

Klaim ‘kepemilikan’ bangsa Yahudi juga tidak jelas. Andaikan bangsa Yahudi memang pernah tinggal di sana, maka mereka bukanlah satu-satunya penghuni negeri itu. Bangsa Romawi dan bangsa asli Palestina pun sudah tinggal di sana sejak lama. Jika tidak ada hitam di atas putih, maka bangsa Yahudi tak boleh mengklaim tanah (apalagi seluas satu negara) sebagai miliknya sendiri. Tambahan lagi, jika bangsa Yahudi mengklaim tanah Palestina atas dasar sejarah, maka benua Australia dan Amerika pun mesti dikembalikan ke pemilik sahnya, yaitu bangsa Aborigin dan Indian.


Tanah yang Dijanjikan


Kaum Zionis mengklaim bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan kepada mereka, dan klaim ini juga sering didukung oleh umat Nasrani. Namun memaksakan klaim ini adalah sebuah tindakan pemaksaan agama, karena yang setuju hanyalah umat Yahudi dan Nasrani. Kalau boleh menguasai suatu wilayah hanya dengan modal ‘janji Tuhan’, maka umat Islam bisa mengklaim seluruh Bumi, karena Allah SWT telah mengangkat mereka sebagai khalifah fi al-‘ardh. Tentu saja, kalau umat Islam mengklaim sebuah kota saja dengan alasan demikian, maka pasti akan muncul label fundamentalis, radikalis, teroris, atau literalis.


Bangsa Tanpa Negeri


Ada juga yang bersikap lebih ‘humanitarian’ dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II terpaksa lari ke tanah Palestina karena didesak oleh NAZI di Eropa. Namun kini beredar teori konspirasi antara NAZI dan kaum Yahudi Zionis. Konon, kaum Yahudi yang pro-Zionisme (yang ketika itu masih minoritas) bekerjasama dengan NAZI untuk membantai saudaranya sendiri, agar mereka mau diyakinkan untuk pindah ke ‘tanah yang dijanjikan’. Namun dengan mengabaikan teori konspirasi ini, argumennya masih saja lemah.

Orang yang lari karena negerinya dilanda konflik adalah pengungsi. Atas nama kemanusiaan, umat Islam pasti akan menerima warga pengungsi dengan tangan terbuka. Sebuah Masjid di Perancis dikenal telah memberikan perlindungan kepada warga Yahudi pada Perang Dunia II, dan masih banyak contoh lainnya. Jika statusnya adalah pengungsi, insya Allah Palestina akan menerima dengan tangan terbuka (walau perlu dipertanyakan : apa iya tidak ada negara lain yang lebih dekat untuk tempat berlabuhnya para pengungsi?). Tapi layaknya pengungsi yang baik, setelah negerinya damai kembali, hendaknyalah kembali ke rumah masing-masing. Dalam kasus Palestina, ‘para pengungsi’ malah semakin kurang ajar, menembaki warga tuan rumah, dan berusaha mendirikan negara di dalam negara. Karena itu, kita tidak perlu lagi memandang kaum Zionis dengan pandangan penuh iba sebagai pengungsi yang tak punya tanah air. Eropa dan AS membuka pintu lebar-lebar kepada mereka, mengapa harus di Palestina?


Perang Antar Negara, Bukan Agama


Kalau dikatakan perang antar agama (yaitu antara Islam dan Yahudi), nampaknya memang tidak. Rasulullah saw. sendiri tak pernah mengobarkan perang dengan umat Yahudi secara keseluruhan. Umat Yahudi pun terbelah dua dalam menyikapi Zionisme Internasional ; ada yang pro dan ada yang kontra.

Namun sebutan ‘perang antar negara’ pun sangat ceroboh, karena statement ini mesti didahului dengan pengakuan terhadap Israel sebagai sebuah negara yang sah. Padahal, kasus yang terjadi adalah penjajahan Palestina oleh Inggris, kemudian Inggris secara sepihak memberikan sebidang tanah kepada kaum Zionis. Kaum Zionis kemudian menerima bantuan dari berbagai negara, termasuk senjata, kemudian mulai mengobarkan peperangan dengan Palestina. Inilah fakta yang dengan susah payah berusaha dikaburkan oleh sebagian pihak.

Bagaimanapun, jika dikatakan bahwa ini adalah perangnya warga Palestina, dan bukan perangnya umat Islam, maka orang yang berkata demikian telah cacat aqidah-nya. Islam tidak mengenal garis perbatasan negara. Selama masih Muslim, maka ia adalah saudara kita ; senasib dan sepenanggungan. Membela umat Muslim yang ditindas adalah kewajiban kita semua, karena Rasulullah saw. menjelaskan bahwa kita adalah bagaikan satu tubuh. Tidak ada pengecualian. Mereka yang tidak ‘gerah’ menyaksikan penderitaan umat Islam di Palestina sebaiknya mulai mengkhawatirkan kondisi keimanannya sendiri, kalau-kalau dalam waktu dekat akan dipanggil Allah SWT.


HAMAS yang Memulai


Sebagian orang berkata bahwa HAMAS-lah yang merusak gencatan senjata dengan menyerang duluan. Cukup mengherankan melihat betapa banyak orang menggarisbawahi ‘pelanggaran gencatan senjata’ kali ini (andaikan memang itu yang terjadi), sementara mereka dulu diam sejuta bahasa ketika kaum Zionis berulang kali melanggar perjanjian. Namun dalam menanggapi masalah apa pun, hendaknya diingat bahwa dalam kasus Palestina yang terjadi adalah pencaplokan wilayah. Tentunya kaum pejuang bebas menyerang penjajah kapan pun mereka bisa. Bangsa Indonesia harusnya tahu betul tentang itu.


Yang Dekat Duluan


Ada juga yang dengan tidak tahu malunya berkata, “Ngapain urus Palestina, mending urus saudara di Indonesia dulu?” Secara prinsip memang benar, yang dekat lebih prioritas untuk diurus. Namun menentukan prioritas bukan hanya dengan mempertimbangkan faktor jarak. Dalam buku Fikih Prioritas, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi telah memaparkan panjang lebar mengenai hal-hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menentukan skala prioritas. Misalnya, jika ada tetangga yang miskin, tentu ia lebih berhak untuk kita sedekahi. Akan tetapi jika ada warga di kota lain yang terancam nyawanya, sementara tetangga kita bisa menunggu sebentar, maka tentu yang lebih gawat urusannyalah yang harus didahulukan.

Kontradiksinya akan kelihatan jelas di lapangan. Mereka yang menggunakan pernyataan di atas biasanya hanya menghindar dari kewajiban. Mereka bilang lebih baik mengurus yang dekat, padahal yang dekat pun tak pernah mereka urusi. Dalam acara debat di sebuah stasiun televisi, sangat menggelikan melihat sebuah parpol menyuruh parpol lain agar jangan fokus ke Palestina, dan lebih baik mengurusi warga Indonesia dahulu. Padahal parpol yang dikritiknya itu adalah parpol yang paling rajin menggelar aksi sosial, baik untuk urusan umat di dalam negeri maupun umat di luar negeri. Parpol yang mengkritik justru jarang kelihatan aksinya ; di dalam dan di luar negeri. Demikian pula jika ada orang yang menggunakan argumen serupa, sebaiknya dikembalikan pada mereka : “Apa yang sudah antum perbuat untuk saudara-saudara antum di dalam negeri?”. Faktanya, dalam hal aksi sosial, yang terjadi adalah 4L (lu lagi, lu lagi). Yang mengurusi musibah di Aceh, Sidoarjo, dan Palestina, biasanya yang itu-itu juga orangnya. Dan yang bermalas-malasan dan mengajukan seribu pembenaran untuk tidak berbuat apa-apa biasanya juga yang itu-itu saja.


Eksploitasi Isu Untuk Kampanye


Sebenarnya ketimbang mempertanyakan mengapa demo mendukung Palestina yang diadakan oleh PKS 2 Januari yang lalu itu banyak menggunakan atribut PKS, lebih baik mempertanyakan kemana perginya parpol-parpol lain yang kocek-nya jauh lebih tebal? Parpol-parpol yang sanggup pasang iklan di televisi dengan durasi dan pengulangan yang sangat banyak di prime-time seharusnya merasa malu dengan kecilnya sumbangan mereka dalam masalah Palestina.

Melarang atribut parpol untuk digunakan dalam kampanye mendukung Palestina pun cenderung tidak masuk akal. Atribut adalah identitas, dan fungsinya untuk membedakan. Memang perlu menunjukkan siapa yang berdemonstrasi, karena berjamaah selalu memiliki kekuatan politis yang lebih kuat daripada bergerak sendiri-sendiri. Dengan menggunakan atributnya, para kader PKS seolah mengatakan, “Hei, di Indonesia ada sebuah partai besar yang tidak rela dengan kelakuan Zionis! Jangan main-main!”. Statement itu bertambah kuat dengan munculnya kesan solid yang ditampilkan oleh para pendemo. Jika seluruh parpol, lembaga dakwah, harakah, dan ormas lainnya mau berdemo dengan atributnya masing-masing, maka alangkah dahsyat kesan yang ditimbulkannya di media massa. Lain dengan demonstrasi yang dihadiri oleh para demonstran bayaran, yang entah datang dari mana, entah dari organisasi apa, entah pakai atribut apa, dan entah bagaimana akhlaq-nya.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

3 comments:

PM said...
This comment has been removed by a blog administrator.
iam said...

gebukin aja tu israel..sembarangan nyaplok tanah.

m.salahuddin said...

ya, am
gebukin pake bambu tumpul ya..
:D