Tuesday, December 30, 2008

NOTHING IMPOSSIBLE

dari Bang Jay d'terrorist nich.. bisa menginspirasi buat kita semua..

* * *

Ia memiliki pasokan makanan yang cukup untuk lima hari, sebuah Alkitab dan The Pilgrim’s Progress (dua hartanya), sebuah kapak kecil untuk melindungi diri dan selembar selimut lusuh. Dengan barang-barang ini, Legson Kayira bersemangat memulai perjalanan hidupnya. Ia akan berjalan dari desanya di Nyasaland, ke utara menyeberangi padang gurun Afrika Timur ke Cairo, di mana ia akan menumpang sebuah kapal ke Amerika untuk mendapatkan sebuah pendidikan di perguruan tinggi. Ia sama sekali tidak tahu, di mana Amerika!

Ketika itu adalah bulan Oktober 1958. Legson berusia enam belas atau tujuh belas tahun. Orang tuanya tidak berpendidikan dan tidak tahu persis di mana atau seberapa jauhkah Amerika dari tempat mereka tinggal. Dengan enggan mereka memberikan restunya atas perjalanan Legson.

Bagi legson, itu merupakan suatu perjalanan yang berasal dari suatu impian, tidak peduli betapa menyesatkan, yang menguatkan tekadnya untuk mendapatkan suatu pendidikan. Ia ingin seperti pahlawannya, Abraham Lincoln, yang telah bangkit dari kemiskinan untuk berjuang tanpa kenal lelah untuk membantu membebaskan para budak lalu menjadi presiden Amerika. Ia ingin seperti Booker T Washington, yang telah melepaskan diri dari belenggu perbudakan untuk menjadi seorang tokoh reformasi dan pendidikan hebat di Amerika, memberikan harapan dan martabat kepada dirinya sendiri dan kepada rasnya.

Seperti model-model peran yang hebat ini, Legson ingin melayani umat manusia, untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda di dunia. Untuk meralisasikan sasarannya, ia memerlukan suatu pendidikan kelas satu. Ia tahu bahwa tempat terbaik untuk mendapatkannya adalah Amerika.

Lupa bahwa Legson tidak mempunyai uang atas namanya sendiri atau suatu cara untuk membayar ongkos perjalanannya.

Lupa bahwa ia tidak tahu perguruan tinggi apa yang akan ia masuki atau apakah ia akan diterima.

Lupa bahwa Cairo berjarak 3.000 mil dari Amerika dan di antaranya ada ratusan suku yang berbicara lebih dari lima puluh bahasa yang berbeda, yang tidak satupun penduduknya dikenal Legson.

Lupakan semua itu. Legson melupakannya. Ia harus melupakannya. Ia mengesampingkan segala sesuatu dari benaknya kecuali impian untuk sampai ke negeri di mana ia bisa membentuk nasibnya sendiri. Amerika adalah negeri impiannya. Dengan kemampuannya, ia mulai melakukan sesuatu.

Ia tidak selalu memiliki tekad yang kuat. Sebagai seorang pemuda, ia kadang-kadang menggunakan kemiskinannya sebagai suatu alasan untuk tidak berbuat yang terbaik di sekolah atau untuk tidak menyelesaikan sesuatu. Saya hanyalah seorang anak miskin, katanya kepada dirinya sendiri. Apa yang bisa saya lakukan ?

Seperti banyak teman-temannya di desa, mudah bagi Legson untuk meyakini bahwa belajar merupakan suatu pemborosan waktu bagi anak miskin dari kota Karongo di Nyasaland. Lalu dalam buku-buku yang diberikan oleh para misionaris, ia menemukan Abraham lincoln dan Booker T Washington. Kisah-kisah mereka memberikan inspirasi kepadanya untuk memimpikan hal-hal yang lebih besar untuk hidupnya, dan ia menyadari bahwa pendidikan merupakan langkah pertamanya. Jadi ia menciptakan gagasan untuk perjalanannya ke Cairo.

Setelah lima hari penuh menyusuri wilayah Afrika yang sulit, Legson hanya bergerak sejauh 25 mil. Ia sudah kehabisan makanan. Airnya habis, dan ia tidak mempunyai uang. Menyelesaikan perjalanan yang masih 2.975 mil lagi tampak merupakan hal yang mustahil. Namun jika ia kembali berarti ia menyerah, menyerahkan dirinya kepada suatu kehidupan yang penuh kemiskinan. Seumur hidup.

Saya tidak akan berhenti sampai menginjak Amerika, janjinya kepada dirinya sendiri. Atau saya mati dalam usaha saya. Ia terus melangkah maju.

Kadang-kadang ia berjalan bersama-sama orang asing. Kebanyakan ia berjalan sendirian. Ia memasuki setiap desa baru dengan hati-hati, tidak mengetahui apakah penduduk setempat bersifat bermusuhan atau ramah. Kadang-kadang ia menemukan pekerjaan dan tempat berlindung. Seringkali ia harus tidur beratapkan langit. Ia mencari buah-buahan liar dan berry tanaman-tanaman lain yang bisa dimakan. Ia menjadi kurus dan lemah.

Suatu hari ia terserang demam dan ia merasa kondisinya sangat lemah. Orang-orang asing yang baik hati mengobatinya dengan obat-obatan herbal dan menawarinya tempat untuk beristirahat dan memulihkan kesehatannya. Merasa khawatir dan lemah semangat, Legson mempertimbangkan untuk pulang. Mungkin lebih baik jika ia pulang, demikian pertimbangannya daripada melanjutkan perjalanan yang tampak konyol ini dan mempertaruhkan kehidupannya.

Namun kemudian Legson kembali membuka kedua bukunya, membaca kata-kata yang telah sangat dikenalnya, yang memperbarui semangatnya. Ia meneruskan perjalanannya. Pada tanggal 19 Januari 1960, lima belas bulan setelah ia memulai perjalanannya yang penuh bahaya, ia telah menyeberangi hampir seribu mil ke Kampala, ibukota Uganda. Sekarang badannya bertumbuh semakin kuat dan lebih bijaksana dalam cara-caranya mempertahankan hidup. Ia tinggal di Kampala selama enam bulan, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang aneh dan menghabiskan setiap waktu luangnya di perpustakaan untuk membaca dengan penuh gairah.

Di perpustakaan itu ia menemukan sebuah direktori bergambar yang memuat daftar perguruan-perguruan tinggi Amerika. Secara khusus sebuah gambar menarik perhatiannya. Gambar itu mengilustrasikan sebuah institusi yang megah namun tampak ramah, berdiri di bawah langit biru, dihiasi air mancur dan halaman rumput, dan dikelilingi oleh pegunungan yang megah, yang mengingatkan dia tentang puncak-puncak gunung yang luar biasa di kampung halamannya di Nyasaland.

Skagit Valley College di Mount Vernon, Washington, menjadi gambaran kongkret pertama dalam pencarian Legson yang tampak mustahil. Ia segera menulis ke Dekan sekolah tersebut menjelaskan situasinya dan meminta beasiswa. Takut ia mungkin tidak diterima di Skagit, Legson memutuskan untuk menulis ke sebanyak mungkin perguruan tinggi sesuai dengan dana yang dimilikinya.

Ternyata itu sebenarnya tidak perlu dilakukannya. Dekan di Skagit begitu terkesan dengan tekad Legson sehingga ia tidak hanya menerima Legson, namun juga menawarkan suatu beasiswa dan pekerjaan sehingga ia bisa membayar biaya untuk tempat tinggal.

Satu lagi impian Legson menjadi kenyataan, namun masih banyak rintangan yang menghalangi jalannya. Legson memerlukan sebuah paspor dan visa, namun untuk mendapatkan paspor, ia harus menginformasikan tanggal lahir resminya kepada pemerintah. Lebih buruk lagi, untuk mendapatkan visa ia memerlukan tiket pulang pergi ke Amerika Serikat. Sekali lagi ia mengambil pulpen dan kertas, dan menulis surat kepada para misionaris yang telah mengajarnya sejak kanak-kanak. Mereka membantu pengurusan paspor melalui saluran-saluran kepemerintahan. Akan tetapi Legson tetap belum mempunyai biaya untuk membeli tiket yang dibutuhkan untuk memohon visa.

Tidak berkecil hati, Legson melanjutkan perjalanannya ke Cairo dengan meyakini bahwa entah bagaimana ia akan mendapatkan uang yang diperlukan. Ia begitu percaya diri sehingga ia menggunakan tabungan terakhirnya untuk membeli sepasang sepatu sehingga ia tidak harus berjalan melalui pintu Skagit Valley College dengan bertelanjang kaki.

Bulan demi bulan berlalu, dan berita tentang perjalanannya yang penuh keberanian mulai tersebar. Ada waktu ia sampai di Khartoum, kehabisan uang dan merasa lelah, legenda Legson Kayira telah menyebar melalui lautan antara benua Afrika dan Mount Vernon, Washington. Para mahasiswa di Skagit Valley College, dengan bantuan dari masyarakat lokal, mengirimkan $ 650 untuk menutup ongkos tiket Legson ke Amerika.

Ketika ia mengetahui kemurahan hati mereka, Legson jatuh berlutut dalam kelelahan, sukacita dan rasa syukur. Pada bulan Desember 1960, lebih dari dua tahun setelah perjalanannya dimulai, Legson tiba di Skagit Valley College. Membawa dua bukunya yang berharga, ia dengan bangga melewati pintu masuk yang menjulang tinggi di institusi tersebut.

Namun Legson tidak berhenti ketika ia lulus. Meneruskan perjalanan akademisnya, ia menjadi profesor ilmu politik di Cambridge University di Inggris, dan menjadi penulis yang dihormati di mana-mana.

Seperti para pahlawannya, Abraham Lincoln dan Booker T Washington, Legson Kayira bangkit dari kondisi awalnya yang sangat sederhana dan menciptakan nasibnya sendiri. Ia melakukan suatu yang berbeda di dunia ini dan menjadi sebuah mercusuar yang sinarnya tetap bercahaya sebagai panduan bagi orang lain yang mengikutinya.

Legson Kayira kembali menjadi saksi hidup, bahwa Tuhan hanya bisa mengangguk atas keinginan besar dari seseorang yang berani membayar mahal harga kesuksesannya. Nothing Impossible.

(Unstoppable, Cynthia Kersey)

*

diambil dari sini