Tulisan ini aku ketikkan kembali dari majalah tarbawi edisi 181, 19 juni 08 lalu (dg sedikit 'editing'). Tentang seorang manusia, mahasiswi, yg dalam usianya yg muda bisa banyak berbuat kebaikan, sampai akhir hidupnya. Semoga bisa diambil hikmahnya. Walo tulisannya panjang, semoga bisa dinikmati dg nyaman.
Bagi yg sudah membacanya, smoga bisa menambah ingatan & kesadarannya, juga smoga bisa memberi tau temen yg lainnya akan adanya kisah ini, munkin berguna buat mereka.Bagi yg belum pernah membacanya, yaa.. silakan membaca ^_^skalian kasi info, kalo majalah tarbawi ini tmasuk baguslah untuk dibaca, hehe.. Promosi.. :DTapi bener qo.. Dia tuh, penuh inspirasi..sesuai slogannya.
Buat temen2 yg ada di Balikpapan, kalo tertarik utk berlangganan..bisa hubungi aku ato melalui toko ini.
:D
Selamat mengambil hikmah..
MENGENANG MEILA
sosok mahasiswi pengabdi dan pejuang
Rofiqo Meila Sari, anak saya yg ketiga dari lima bersaudara, lahir tgl 18 Mei 1987. Pada anak-anak saya itu, saya menyimpan harapan yg sama, yakni mereka mencapai pemahaman agama yg baik dan meningkat terus. Pada anak-anak, saya lebih banyak mencontohkan untuk dekat pada agama melalui perbuatan sehari-hari. Misalnya, dengan melihat orang tuanya shalat malam, shalat dhuha, dan puasa sunah, anak-anak pun akan ingin melakukannya, setelah mengetahui kebaikan di balik ibadah-ibadah itu.
Tapi ternyata yg paling kelihatan amat dekat dg agama adalah Meila, dialah yg rajin dan konsisten melakukan shalat malam, dhuha, puasa Nabi Daud, puasa sunah Senin Kamis, dan lainnya. Di bulan Ramadhan, terutama Ramadhan lalu, dia jarang berada di rumah karena i'tikaf di masjid. Saat saya tanyakan mengapa sampai demikian giat beri'tikaf, dia menjawab bahwa dia ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya kesempatan beribadah di bulan yg penuh keberkahan itu, apalagi kesempatan untuk beribadah di bulan itu akan datang lagi atau tidak, kita kan tidak tahu.
Banyak kebaikan dan keunikan Meila yg saya rasakan. Dg cara yg lembut, sambil meminta maaf, dia dapat berdikusi berbagai hal mendalam, bahkan menasehati saya. Dan saya memperhatikan pendapat-pendapatnya, karena saya melihat kepribadian yg cukup matang dan bertanggung jawab. Terhadap saudara-saudaranya, Meila juga perhatian. Bagi kami, Meila adalah pelita keluarga (terdiam).
Saya bahagia dan hati saya tenang, karena meski dia masih muda, namun saya bisa mempercayainya. Hingga saya lebih banyak berpesan dan mewanti-wanti pada adiknya. Kalau adiknya meminta izin mendatangi suatu tempat, saya banyak berpesan, jangan pulang terlambat, jangan main dulu kalau acara sudah selesai. Kalau dg Meila, saya tidak melakukan itu. Saya mempercayainya dan yakin dg apa-apa yg dia lakukan. Saya mengetahui kepribadian dan akhlaknya sehari-hari.
Ketika membaca buku harian Meila setelah kepergiannya, saya terenyuh. Di buku itu dia mempertanyakan “perbedaan” perlakuan itu. Dia menulis mengapa kalau adiknya pergi selalu dikomentari, sedangkan dia tidak. Rupanya dia mempunyai perasaan lain yg dia tuangkan dalam buku itu. Saya sedih saat membacanya. Saya menangis. Ya Allah, tidak ada maksud seperti itu. Saya berdoa, “Meila, maafkan Mama kalau kamu mempunyai perasaan seperti itu. Tapi itu (Mama lakukan) karena Mama sangat percaya pada Meila.”
Meila itu remaja yg gemar sekali dg kegiatan dakwah. Mushala di samping rumah kami (mushala yg didirikan oleh keluarga) dia juga yg meramaikan. Tiap malam Jumat dia mengajak anak-anak muda untuk pengajian. Bersama teman-temannya, dia mengadakan kursus cara memandikan jenazah, pengobatan gratis dan lainnya.
Dua tahun lalu, di mushala itu dia juga membuka TPA untuk anak balita. Meski di kampusnya (kuliah di Fak. Psikologi UIN Syarif Hidayatullah) dia sibuk ikut Lembaga Dakwah Kampus dan kerap mengadakan kegiatan, tetapi untuk TPA itu dia juga terjun total (TPA itu menampung 30an anak). Saya sempat khawatir dan bertanya apa tidak terlalu lelah. Tapi dia bilang bahwa anak-anak inilah nantinya yg jadi generasi penerus, dan karena mereka masih sangat muda, masih seperti kertas putih, justru merekalah yg sangat perlu diperhatikan.
Terhadap anak kecil, dia memang sayang sekali. Terhadap adiknya, keponakan, anak-anak tetangga, dia perhatian sekali. Terhadap adik-adik tirinya (Azizah menikah kembali th 2007, setelah suaminya wafat enam th lalu), dia sering menanyakan, sudah membuat PR belum, sudah belajar belum, dan lainnya. Kalau pulang kuliah atau pulang dari berbagai kegiatan lain, dia selalu menanyakan adik-adik tirinya. Pada adiknya yg sudah remaja, dia sering menasehati, termasuk menasehati untuk berjilbab. Ketika adiknya kemudian berjilbab, saya menanyakan sebabnya. Selain karena dorongan hati, juga karena ingin mencontoh kakaknya.
Kini adiknya dan seorang teman Meila yg meneruskan mengajar di TPA (tiap hari, sebelum memulai mengajar di TPA pasca kepergian Meila, adiknya mengajak murid-murid untuk berdoa bagi Meila). Memang, di pagi hari saat kepergiannya (Rabu 14 Mei 2008), sebelum berangkat Meila mengatakan kepada adik dan kakaknya di rumah, “Kalau Meila tidak pulang, tolong TPA diteruskan, jangan sampai berhenti ya..kegiatannya.” Saudaranya menduga, maksudnya akan menginap karena sedang sibuk menyiapkan suatu acara. Ternyata dia benar-benar tidak akan pulang (terdiam).
Kepergiannya
Saat Meila berangkat di hari terakhir itu, saya sudah lebih dulu pergi ke sekolah (Azizah mengajar agama di salah satu SD Negeri di Pondok Pinang). Sedangkan Meila biasanya berangkat setelah shalat dhuha dulu di rumah. Sebelum shubuh, salah seorang saudaranya melihat Meila makan sahur. Dugaan saya, hari itu dia sedang berpuasa Nabi Daud.
Kabar yg saya dengar, hari Rabu 14 Mei itu, dg diboncengkan motor oleh teman perempuannya, Meila membawa proposal untuk pencarian dana acara dakwah di kampus hingga ke kawasan Depok. Tapi saya juga mendengar kabar lain, bahwaw dia ke Depok untuk mengajukan lamaran menjadi asisten dosen di Universitas Indonesia. Pagi jam sepuluh itu, motor yg ditumpangi Meila terserempet mobil yg datang dari arah berlawanan. Akibatnya Meila terpental hingga masuk ke bawah mobil (terdiam). Ketika ditemukan, dia sudah meninggal di tempat (terdiam). Sedangkan temannya mengalami luka-luka, dan bersama jenazah Meila, segera dilarikan ke rumah sakit di Depok.
Saat mendengar kabar kecelakaan itu, saya tidak diberi tahu bahwa Meila sudah meninggal di tempat (terdiam). Ketika menuju rumah sakit, saya berujar kepada adik saya yg menyetir mobil, cepat, cepat, saya mau melihat anak saya (terdiam). Tiba di rumah sakit, saya melihat tubuh Meila ditutup kain semuanya, dari kepala sampai kakinya. Saya hanya bisa berdzikir, saya mengucapkan innaalillaahi wainnaa ilaihi raaji'uun, saya mengingatkan diri saya, bahwa Allah lebih sayang pada anak saya. Saya sangat sayang pada Meila, tapi Allah lebih sayang padanya. Saya harus ikhlas (terdiam). Itulah yg menguatkan saya. Kalau tidak banyak mengingat Allah, entah apa yg jadinya (terdiam).
Saat membuka kain yg menutupi wajahnya, subhanallah, saya melihat matanya tertutup rapat dan wajahnya menghadap ke kanan. Ketika saya memperhatikan tubuhnya, subhanallah, tidak ada darah sama sekali. Jenazah itu bersih. Saya hampir tidak percaya melihatnya, tapi itulah yg terjadi. Ada luka di kakinya yg membuat tulangnya nampak, namun tetap tidak mengeluarkan darah. Polisi lalu lintas yg membawa jenazah Meila juga berujar, baru saat itulah ia menemukan jenazah korban kecelakaan lalu lintas yg tidak ada darah sama sekali di tubuhnya (terdiam).
Sewaktu membuka penutup jenazah, saya merasa ada wangi tertentu, namun saya tidak tahu itu wangi apa (Seorang teman Meila menuliskan dalam catatan kenangan tentang Meila. Menurutnya, di saat kecelakaan terjadi, dalam ruangan kelas tempat Meila biasa melakukan kegiatan, tercium wangi yg tidak dikenali oleh seorang pun di ruangan itu).
Kemudahan2 pengurusan jenazahnya
Banyak kemudahan dalam proses itu. Bahkan polisi yg bertugas saat kecelakaan terjadi, di luar dugaan, adalah tetangga yg memang berprofesi sebagai polisi. Ketika kecelakaan terjadi dan ia mencari tanda keterangan diri dalam tas Meila, ia kager saat membaca alamat Meila. Sehingga kabar pada keluarga pun lebih cepat sampai. Dan polisi itulah yg terus membantu kami, mulai dari pemulangan jenazah Meila dari rumah sakit hingga hal-hal lainnya.
Kemudahan juga terjadi ketika akan memakamkan almarhumah. Saat itu kami diberi tahu bahwa tanah pekuburan di daerah Gandaria adalah tanah yg keras, yg tidak mudah untuk digali. Tiga orang penggali kuburnya mengatakan, makam yg digali di sore hari itu diperkirakan baru akan selesai jam sebelas malam atau lebih karena kondisi tanahnya. Akhirnya kami memutuskan untuk memakamkan alamarhumah esok paginya saja. Namun jam tujuh malam tiba-tiba kami ditelepon. Kata pihak TPU, terjadi keanehan, karena tidak seperti biasanya tanah di sana terasa gembur saat digali. Jadi penggalian itu jam tujuh malam sudah selesai. Kami merasa itu suatu kemudahan yg Allah berikan.
Wasiat
Tanpa kami ketahui, pada tanggal 1 April 2008 Meila ternyata menuliskan wasiat di selembar kertas yg disimpan dalam dompetnya. Di malam hari setelah kecelakaan terjadi, barulah pamannya menemukan surat itu, ketika melihat satu per satu isi tas Meila. Dalam dompetnya, selain ditemukan foto almarhum nenek & ayahnya, juga ditemukan surat itu. Dalam surat wasiat itu tertulis,
“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Jakarta, 1 April 2008 / 24 Rabiul Awwal 1428 H. Saya yg bernama Rofiqo Meila Sari Ber-WASIAT.
- Saya ingin merenovasi kuburan Bapak Nurhasan, ayahanda tercintaku dg bunga dan rumput. Serta aku ingin buatkan kaligrafi yg kubuat sendiri.
- Meramaikan mushola dg kegiatan-kegiatan bermanfaat.
- Barang-barang Meila seperti buku-buku, baju, sepatu, tas, dll yg masih layak pakai untuk diberikan kepada sanak saudara yg membutuhkan (khususnya yg sudah yatim piatu dan fakir miskin), baru untuk orang lain.
- Organ-organ atau jasadiyah Meila yg masih/dapat digunakan untuk orang yg membutuhkan tetapi dia harus seorang hamba Allah yg beriman lagi taat.
- Kalau seandainya bisa, saya ingin dimakamkan di sebelah makam ayahandaku.
- Jika saya memiliki harata lebih, 50%-nya untuk pembangunan masjid, kegiatan-kegiatan dakwah, santunan yatim piatu atau lainnya yg dapat membawa kemaslahatan umat.
- Unuk saudara/saudariku tolong sayangi Mama dan saling sayang-menyayangi, komunikatif, watashau bilhaq watashau bishabr.
- Tolong kirimkan doa terbaikmu untukku yg telah dahulu.
Salam cinta
Rofiqo Meila Sari”
Membaca surat itu, kami terkesima. Subhanallah, dia tentu tidak mengetahui bahwa sebulan kemudian akan mengalami kejadian itu (terdiam). Namun atas kuasa Allah, dia terdorong untuk menuliskannya. Surat itu juga menunjukkan sifat Meila yg lain, bahwa dia seorang pemaaf. Karena menggunakan kata 'kalau seandainya bisa'. Nampak bahwa dia tidak ingin “memasakkan” keinginannya.
Kami berusaha untuk memenuhi apa yg dalam surat itu. Sebagian besar insya Allah dapat dipenuhi. Namun tidak semuanya dapat terpenuhi. Karena surat itu ditemukan di malam hari, sudah sekian jam dari peristiwa itu terjadi, maka keinginan untuk mendonorkan organ tubuh sudah tidak bisa dilakukan (terdiam). Seorang kerabat mengatakan bahwa organ mata masih dapat didonorkan meski telah berjam-jam kemudian. Namun, ternyata kami kesulitan untuk memenuhi syarat 'harus seorang yg beriman lagi taat'. Kami khawatir syarat itu tidak terpenuhi, maka kami akhirnya memutuskan tidak melakukan pula hal itu.
Banyak kebaikan padanya
Saya terharu sekali karena dia berpesan pada adik dan kakaknya untuk menyayangi saya. Memang sehari-harinya dia sangat sayang pada saya. Segala sesuatunya untuk ibunya (menangis). Ibaratnya tidak apa-apa dia susah, asalkan ibunya bahagia (menangis). Dia kelihatan ingin sekali berbakti sama ibunya (menangis). Sampai mengajar privat di beberapa tempat, dan seluruh pendapatannya diberikan pada saya. Kalau saya menolak dan mengatakan uang itu dipakai saja untuk ongkosnya sehari-hari, dia tidak mau. Dia bilang ingin memberikan uang itu pada saya. Karena tidak tega untuk menolaknya, maka saya terima. Dan tiap hari tetap saya berikan uang untuk transpornya. Begitu inginnya dia memberikan uang, meski dia sendiri tidak punya uang untuk trasport.
Beberapa hari sebelum kejadian itu, di malam Minggu 10 Mei 2008, Meila bilang pada saya, “Ma, maafin Meila ya, Meila pengin ngomong... Bulan depan Mama tidak perlu lagi memberikan Meila uang jajan. Tapi Meila juga tidak bisa memberikan uang sama Mama. Tapi rejeki insya Allah akan berkah Ma.” Setelah itu dia mencium tangan saya. Saat itu saya menduga dia sudah ada pemasukan tambahan lainnya, dan sudah dapat memenuhi kebutuhannnya sehari-hari. Saya menangis terharu, karena anak saya mempunyai pemikiran ingin meringankan orang tuanya. Saya berpikir, mungkin karena adiknya yg di pesantren akan masuk Madrasah Aliyah dan perlu biaya tambahan, maka dia berusaha mencari tambahan pemasukan, Saya berkata bahwa saya akan mendoakannya (terdiam). Dia menjawab, “Iya Ma, doakan Meila ya...” Setelah itu dia kembali minta maaf (terdiam). Itulah kali terakhir saya berbicara lama dengannya.
Sebagai orang tua, saya merasa kepatuhan, perhatian dan rasa sayang Meila pada saya sangat istimewa. Kalau saya lelah, Meila langsung mengambilkan minum dan memijat kaki saya. Kalau saya belum makan, dia bahkan menawarkan untuk menyuapi saya makan (terdiam). Dia terus membujuk sampai saya mau makan, karena kalau sudah lelah, saya kadang terlupa untuk makan. Karena tidak ingin dia kecewa, kadang saya mau disuapi, dan setelah itu giliran saya yg menyuapi dia makan (tertawa).
Meila juga senang sekali mengerjakan pekerjaan di rumah. Memasak, membersihkan rumah, merapikan taman, sampai membersihkan selokan (terdiam). Beberapa hari sebelum kepergiannya, dia masih membersihkan selokan (terdiam). Meski capek sepulang kuliah, tapi kalau akan mencuci baju, dia selalu mencucikan baju-baju lainnya yg ada di ember. Meski sebenarnya adik dan kakaknya mencuci sendiri baju masing-masing, tapi kalau Meila akan mencuci, maka baju siapa pun akan dia cucikan. Kalau saya katakan jangan dicuci semua, dia cuma bilang, tidak apa-apa Ma, kan sekalian mencuci baju Meila.
Ternyata kebaikannya juga dirasakan oleh lingkungan. Sungguh saya tidak menduga, saat membawa jenazah Meila pulang, sejak di ujung jalan, orang-orang sudah penuh sesak (terdiam). Semua menangisi kepergian dia. Saya sangat terharu (terdiam). Di rumah, tamu-tamu yg bertakziah, teman-teman kuliahnya, teman-teman sekolah, teman sesama penggiat dakwah, guru-gurunya, berdatangan terus, hingga rumah dan jalan penuh sesak. Kata kerabat saya, yg datang hingga ribuan (terdiam). Guru-gurunya juga meminta dg sangat untuk ikut memandikan jenazah. Saat itulah saya mengetahui, betapa banyak yg menyayangi dia (terdiam, suaranya bergetar).
Ternyata bukan di rumah saja Meila bersikap sangat baik pada saya dan keluarga, dan bersemangat kalau untuk persoalan berdakwah di lingkungan, tapi juga di kampus dan tempat-tempat lain. Selain mengajar privat ilmu alam, dia juga memberikan les privat agama. Seorang dosennya bercerita pada saya, sehari sebelum kecelakaan itu, Meila mengajak teman-temannya berkumpul dan menasehati mereka. Saya ingat saya pernah menanyakan mengapa ia aktif sekali di LDK. Saya khawatir ia terlalu lelah dan jatuh sakit. Namun Meila menjawab bahwa di kampusnya, meski berpredikat universitas Islam, namun suasananya tidak banyak berbeda dg kampus lainnya dalam hal keagamaan, hingga dakwah di kampus sangat diperlukan. Dan kalau tidak mengajak berdakwah, bagaimana nanti tanggung jawab di akhirat?
Awal komitmen
Beberapa hari setelah kepergiannya, saya menemukan buku hariannya. Di dalamnya saya membaca janji yg ia buat tiga tahun lalu. Di buku itu tertulis, “Bismillahirrahmanirrahim. 1.Mengajak untuk mengingat Allah swt. 2.Mengajak untuk mengingat dosa-dosa. 3.Mengajak untuk menyayangi orang tua. 4.Mensyukuri nikmat-nikmat Allah. 5.Taubat. Dear diary, tahu nggak ini adalah salah satu konsep yg aku buat pada malam Minggu kemarin, 30 April 2005 untuk muhasabah. Uh..uh..bagaimana ya..aku juga sebenarnya takut karena aku sendiri aja takut nggak bisa menjalankan apa yg aku sudah katakan. Tapi kita tidak boleh menghakimi diri kita “tidak bisa” karena pada dasarnya manusia itu bisa melakukan apa saja. Mudah-mudahan aku bisa menjalankan sunah-sunah Rasulullah di dalam kehidupanku sehari-hari. Amien ya..Rabbal alamin.. Maka dari itu aku bernama Rofiqo Meila Sari, asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah, aku berjanji: 1.Taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. 2.Taat pada orang tua dan guru. 3.Rajin belajar dan giat beramal. 4.Cinta alam dan kasih sayang kepada manusia. 5.Akan selalu menjalankan janji ini. Amien ya Rabbul alamin. Mudah-mudahan Meila bisa menggapai cita-cita Meila, dan dapat membahagiakan orang-orang di sekitarku. Allahu akbar. Jakarta, 2 Mei 2005.”
Sepertinya, memang di sekitar waktu itulah terasa Meila menjadi semakin baik. Kemungkinan besar dia merasa harus melakukan apa yg dia tekadkan. Dalam akhlak sehari-harinya hal itu kemudian sangat nampak. Taqarubnya pada Allah juga sangat meningkat. Kalau sebelumnya dia beribadah belum serajin itu, saya merasa di sekitar waktu itulah, dia melakukan perubahan yg mendalam (terdiam).
Di buku harian itu dia juga menuliskan bahwa dia tidak mau berpacaran. Dia inginnya ta'aruf yg dibenarkan agama. Namun sejak sekitar bulan April, Meila beberapa kali mengatakan pada tantenya bahwa ia ingin menikah di bulan Mei. Pada murid-muridnya yg sering menanyakan kapan ia menikah, Meila juga menjawab, insya Allah di bulan Mei ini. Pada teman-temannya dia juga mengatakan seperti itu. Ternyata di bulan Mei, yg terjadi adalah kepergiannya (terdiam). Namun apa rahasia di balik itu, hanya Allah Yang Maha Tahu.
Mengingat kepergian Meila, saya juga teringat bagaimana ayahnya berpulan enam tahun lalu. Sekitar 40 hari sebelum wafat, ayahnya mengatakan pada saya, bahwa dia berharap akan wafat saat sedang shalat atau saat membaca Al-Quran. Dia juga mengatakan ingin dimakamkan di mana. Dan juga berpesan berbagai hal pada saya selaku istrinya. Namun saat itu saya tidak menduga bahwa sekitar 40 hari setelah itu dia ternyata berpulang.
Ramadhan terakhir dalam hidupnya, ayah Meila mengabdi sebulan penuh di mushala. Ia tadarus Al-Quran hingga berkali-kali khatam. Di hari Jumat sehari sebelum wafat, bersama saya dia menjenguk anak kami yg di pesantren. Esoknya, saat shalat shubuh di mushala, dia berujar pada temannya untuk menggantikannya menjadi imam. Temannya menolak dan mengatakan merasa malu menjadi imam (karena ada orang lain yg dirasa lebih mampu). Namun suami memaksa dan mengatakan, kamu harus jadi imam, supaya ada yg menggantikan kalau saya tidak ada. Akhirnya temannya itu mau menjadi imam. Saat rakaat pertama shalat shubuh itu, ketika pada ayat waladhdhallin, dan makmum mengucap amin, suami saya jatuh tersungkur. Ia meninggal saat itu juga. Tanpa sakit apa pun sebelumnya. Saya kaget sekali. Dan sangat sedih. Namun saya menyimpan keharuan dan harapan, semoga dg kepergian seperti itu, insya Allah dia mencapai khusnul khatimah.
Harapan yg sama kini saya doakan untuk Meila anak saya (terdiam). Saya juga berharap, nasehat-nasehatnya dapat saya amalkan. Ketika saya merasa beban hidup demikian berat, ketika merasa berbuat baik namun mendapat tanggapan yg kurang baik dari orang lain, Meila bisanya bilang pada saya bahwa Allah memberikan cobaan untuk orang yg kuat. Kalau orang yg tidak kuat, tidak akan diberikan cobaan seperti itu. Dia bilang, “insya Allah Mama kuat.” Kata-kata itu selalu terngiang di hati saya. Membuat saya tergugah bahwa Allah memberikan cobaan kepada saya karena insya Allah saya kuat. Meski kesedihan datang, namun selalu timbul kekuatan di balik itu, kalau semuanya dikembalikan kepada Allah.
Sekitar satu minggu sebelum kepergian Meila, entah mengapa saya merasa sedih dan gelisah. Saat itu Meila menanyakan, “Mama ada apa, kok Mama sedih. Mama yg sabar ya Ma, orang sabar disayang Allah... Nanti Mama akan merasakan manisnya kesabaran...”
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan jannah untuk Meila. Dan dia dapat menjadi contoh, untuk membawa keluarga mengikuti jejaknya. Bahwa Meila yg masih muda mau berusaha seperti itu, mengapa kita tidak.